Blogger Widgets
Powered By Blogger

Sabtu, 20 Februari 2016

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TANAMAN PANGAN APLIKASI TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN ANALISIS USAHA TANI


LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TANAMAN PANGAN
APLIKASI TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN ANALISIS USAHA TANI TANAMAN PANGAN UTAMA PADA MASYARAKAT PETANI
DISUSUN Oleh :
NAMA       : NICO DWI ARDIYANSAH               
NPM           : E1J01307
SHIFT        : B1 ( RABU PUKUL 08:00-10:00 WIB)
doseN      : Ir.dotti suryati,M.Sc
COASS      : nurul halimah

 LABORATORIUM AGRONOMI
jurusan budidaya pertanian
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian didalam menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk. Pembangunan pertanian perlu mendapat perhatian yang lebih baik, sekalipun prioritas pada kebijaksanaan industrialisasi sudah dijatuhkan, namun sektor pertanian dapat memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus. Hal ini terjadi bila produktifitas diperbesar sehingga menghasillkan pendapatan petani yang lebih tinggi dan memungkinkan untuk menabung dan mengakumulasikan modal. Peningkatan taraf hidup tersebut diperoleh petani dengan cara meningkatkan pendapatanya.
Untuk memperoleh pendapatan yang tinggi mereka melaksanakan berbagai kegiatan dengan mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain (diversifikasi usahatani) yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan pertanianya memungkinkan. Pengembangan pendapatan diluar usahatani (off farm income) juga akan sangat membantu peningkatan kesejahtraan karena terbatasnya potensi usahatani, berbagai penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan sektor pertanian akan mampu menurunkan angka kemiskinan petani (Sudarman, 2001).
Sektor pertanian merupakan pengerak utama pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu. Share Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian atas dasar harga berlaku dalam 10 tahun terakhir mencapai 33%, tahun 2002 sebesar Rp 2,02 triliun dan tahun 2011 naik menjadi Rp 5,95 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39% per tahun. Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp 3,71 triliun (62,38%) dikuti subsektor sebesar Rp 1,58 triliun (26,60%), dan subsektor peternakan sebesar Rp 0,65 triliun (11,02%) (BPS 2011).
Permasalahan yang paling sering dihadapi petani pada kegiatan usahatani padi terkait dengan penggunaan sarana produksi usahatani (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan lainnya) adalah kemampuan petani untuk membeli sarana produksi tersebut karena rendahnya akumulasi modal usahatani yang dimiliki. Petani sering kali penggunaan input tidak optimal sehingga pemeliharaan dalam aktivitas usahatani tidak memadai. Padahal penggunaan input atau faktor produksi seperti bibit, pupuk urea, pupuk phonska, pelangi, pupuk organik, pestisida dan tenaga kerja secara tepat dan efisien akan memberikan keuntungan kepada petani.  Peningkatan produksi padi hanya dapat dilakukan dengan pengelolaan usahatani yang baik dengan dukungan teknologi serta jaminan ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Pada saat gabah melimpah terutama pada musim panen raya berlangsung, sering kali timbul permasalahan di bidang pemasaran. Guna mengatur stabilitas harga gabah di pasaran, pemerintah telah menetapkan kebijakan harga dasar gabah sebagai jaminan harga kepada petani agar tetap bergairah dalam mengusahakan tanaman padi dan terpacu untuk meningkatkan produksi. Harga dasar (floor price) yaitu diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen tidak turun, supaya produsen bisa menerima hasilnya sesuai dengan harga yang ditetapkan tersebut. Banyaknya barang yang ditawarkan, sementara pembeli dan permintaan tetap maka harga akan tertekan. Buruknya penetapan harga ini bisa dijadikan bola bagi tengkulak atau pemodal yang nakal untuk memperoleh keuntungan yang besar. Harga atap (celling price) yaitu tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas, Sehingga dengan demikian kebijaksanaan harga dikatakan sangat efektif apabila harga pasar berada di antara harga dasar dan harga atap.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian (padi) telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa masih terjadi perbedaan yang tinggi antara potensial produksi padi berbeda dengan hasil yang diperoleh petani. Perbedaan hasil umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi yaitu kondisi keterbatasan petani untuk menggunakan inovasi teknologi budidaya, seperti pengetahuan, akses terhadap sumber modal, pemasaran, prasarana transportasi, irigasi. Sedangkan faktor teknis ketersediaan air irigasi, kondisi kesuburan lahan, hama dan penyakit tanaman. Faktor-faktor ini akan menjadi pertimbangan bagi petani dalam mengalokasikan input seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, dan obat-obatan.
Usahatani padi sawah tidak hanya sebagai penghasil bahan makanan tetapi juga mempunyai nilai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan dari kegiatan usahatani antara lain penyedia lapangan kerja dan penyangga ketahanan pangan (Irawan at al. 2006). Oleh karenanya perlu pengelolaan yang tepat dengan menggunakan faktor produksi secara efisien guna meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan produksi. Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dalam usahatani padi sawah akan mengakibatkan rendahnya produksi dan tingginya biaya, dan pada akhirnya mengurangi pendapatan petani. Bagi petani kegiatan usahatani yang dilakukan tidak hanya meningkatkan produksi tetapi bagaimana menaikkan pendapatan melalui pemanfaatan penggunaan faktor produksi.
Pengelolaan input produksi harus mempertimbangkan prinsip optimalisasi guna pencapaian produksi yang tinggi dengan alokasi input yang efisien dan efektif. Menurut Soekartawi (2001), efisien ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (efisiensi harga), dan efisiensi ekonomi. Petani sebagai entrepreneur akan bertindak secara rasional dan logis dalam pengelolaan usahataninya. Sumberdaya yang terbatas akan dimanfaatkan oleh petani secara efisien guna memperoleh keuntungan yang maksimum. Akan tetapi karena keterbatasan ekonomi, pengetahuan usahatani maka tingkat penggunaan sumberdaya secara optimal belum tercapai.
Pemerintah memiliki peran vital untuk memajukan sumberdaya petani agar kesejahteraan petani semakin meningkat. Pemerintah dapat meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit yang memiliki sertifikat standar nasional, pupuk dan obat-obatan yang memadai. Menurut Sajad (1997), salah satu usaha dalam meningkatkan produksi padi sangat bergantung pada mutu benih padi. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan sarana produksi dengan mutu yang baik guna meningkatkan produksi pertanian.
Pembangunan pertanian dilaksanakan untuk mewujudkan peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, sehingga pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan terutama beras, melalui berbagai langkah kebijakan. Di samping itu, dalam rangka mengurangi beban penderitaan petani, kebijakan perberasan di Indonesia hendaknya harus melingkupi bukan hanya pada persoalan-persoalan produksi beras. Dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan petani perlu memanfaatkan faktor produksi secara efektif dan efisien untuk produksi usahataninya. Efisiensi produksi hendaknya penting diperhatikan oleh petani. Upaya-upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui jalur ekstensifikasi tampaknya semakin sulit, terbatasnya lahan pertanian produktif dan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang sulit dibendung karena berbagai alasan. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui efisiensi produksi menjadi salah satu pilihan yang tepat. Dengan efisiensi, petani dapat menggunakan input produksi sesuai dengan ketentuan untuk mendapat produksi yang optimal.
1.2 Tujuan Praktikum
1. mahasiswa dapat menghubungkan penerapan teknologi budidaya dengan produksi tanaman dan tingkat keuntungan yang dicapainya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut  Salikin (2003), pertanian berkelanjutan merupakan kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa. Menurut Soekartawi (1995) dalam Salikin (2003), terdapat tiga alasan mengapa pembangunan pertanian Indonesia harus berkelanjutan yaitu: sebagai negara agraris, peranan sektor pertanian Indonesia dalam sistem perekonomian nasional masih dominan. Kontibusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto adalah sekitar 20 % dan menyerap 50 % lebih tenaga kerja di pedesaan. Kedua, agrobisnis dan agroindustri memiliki peranan yang sangat vital dalam mendukung pembangunan sektor lainnya. Ketiga, pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan agar sumberdaya alam yang ada sekarang ini dapat terus dimanfaatkan untuk waktu yang relatif lama. Sektor pertanian tetap menduduki peran vital yang mendukung kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

2.1    Pengolahan Tanah
Teknologi pengolahan tanah mempunyai tujuan ganda, baik dalam penyiapan lahan dan pengelolaan air maupun pengendalian gulma. Pada era prarevolusi hijau, penyiapan lahan untuk budi daya padi sawah hanya diawali dengan pengolahan tanah sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah, hanya dengan menebas gulma dan kemudian membakarnya (Lamid, 1993)
            Pada era revolusi hijau yang diiringi oleh kemajuan peradaban zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pengolahan tanah secara sederhana ditinggalkan petani dan diganti dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan). OTS menjadi salah satu komponen teknologi anjuran dalam program intensifikasi padi sawah (Bimas, Inmas,Insus, dan Supra Insus) yang mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan teknologi OTS awalnya berdampak positif terhadap efisiensi usaha tani padi karena menghemat biaya dan tenaga kerja untuk pengendalian gulma, memfasilitasi penerapan komponen teknologi lain, dan meningkatkan produktivitas (Kasryno 1983; Ananto 1989). Namun, di balik keberhasilan itu, revolusi hijau meninggalkan beberapa masalah, antara lain tanah menjadi sakit (soil sickness) (Utomo 1995). Pelumpuran tanah secara terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan anorganik pada takaran tinggi diduga menjadi salah satu penyebab perubahan fisika kimia tanah pada zona perakaran tanaman, yang berdampak terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
            Perubahan iklim berdampak pula terhadap perubahan fisik tanah dan penurunan produktivitas tanaman yang pada gilirannya akan menurunkan produksi  Padi sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan terhadap perubahan iklim dan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di bidang pertanian (Las et al., 2008; Badan Litbang Pertanian 2010).
Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah satu teknologi yang prospektif dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS dan menurunkan GRK dalam pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010). TOT dikenal sebagai teknologi olah tanah konservasi (OTK) (conservation tillage) dan makin populer di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata, memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas tanam dan pendapatan (Simanungkalit, 2006). Selain itu, teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida nonselektif purnatumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak (Bangun 1995; Utomo 1995).
Olah Tanah Sempurna (OTS) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap program intensifikasi padi sawah. Swasembada beras yang diraih pada tahun 1984 tentu tidak dapat dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan tulang punggung pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program intensifikasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah, seperti degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah pertanian (residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta timbulnya biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hsieh, 1990).
Proses OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah sampai jenuh bahkan kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh pembajakan dua kali dan penggaruan untuk pelumpuran lahan, memerlukan waktu relatif lama sebelum padi ditanam. Tujuan utama OTS adalah mengendalikan gulma pada stadia awal pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi tanah, mencampur sisa gulma dan tanaman dengan tanah, membantu pembentukan tapak bajak, menyeragamkan tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor (P), dan memudahkan tanam (Taslim et al., 1989).
Pada budi daya padi sawah, masing-masing 30% dari total kebutuhan air, total tenaga kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan lahan sehingga indeks pertanaman maksimum hanya 200-250/tahun (Ananto dan Fagi 1993). Pembajakan atau pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan organik, dan hara tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur besi (Fe) dan sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran (oksidasi) sehingga meracuni akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma (Mercado et.al, 1979).
Penerapan OTS dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul memberikan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih baik, tetapi indeks pertanaman lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan mesin pengolah tanah (hand tractor) karena memerlukan waktu yang lebih panjang (De Datta 1981). Dengan menggunakan bajak traktor, proses tanam dapat dipercepat sehingga indeks pertanaman meningkat. Namun, hasil padi lebih rendah karena adanya senyawa beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh proses pelapukan bahan organik (gulma dan singgang). Senyawa ini mengganggu pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.

2.2    Pengelolaan Irigasi dan Drainase
Pemberian air pada padi sawah dalam jaringan irigasi, terdapat 3 sistem, yaitu : sistem irigasi terus menerus, sistem irigasi rotasi, dan sistem irigasi berselang. Kebanyakan jaringan irigasi yang ada di Indonesia, menerapkan sistem irigasi terus menerus (continous flow).
Dalam penelitiannya di madura, Krishnasamy et al. (2003) menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi genangan air dilahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi (varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produktivitasnya relatif lebih tinggi dibanding sistem irigasi terus menerus dan irigasi bergilir (Krishnasamy et al. 2003).
Dengan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dann berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Lebih jauh Krishnasamy et al.(2003) melaporkan bahwa produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibandingkan pada sistem penggenangan terus menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%).

2.3    Pemupukan
Pemupukan adalah cara yang digunakan untuk memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Pupuk sendiri dibagi menjadi dua yatiu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik merupakan pupuk hasil dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Contohnya yaitu pupuk kandang, pupuk kompos, pupuk hijau, pupuk kascing. Pupuk anorganik adalah pupuk buatan pabrik berupa bahan kimia yang riramu sedikian rupa sehingga menghasilkan pupuk yang dapat digunakan untuk tanaman, seperti pupuk urea, SP-36, dan KCl (Hadi,2005).
Havlin et al. (2005) menyatakan bahwa unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi ada 16 unsur hara essensial yaitu unsur hara makro dan mikro. Tetapi, unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak yaitu N, P dan K ditambah unsur hara makro lain dan unsur hara mikro yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin, 2003). Menurut Hadi (2005) pupuk adalah bahan yang memberikan zat hara bagi tanaman. Pupuk yang dikenal saat ini ada dua yaitu pupuk organik seperti pupuk hayati, kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan lain-lain, dan pupuk anorganik seperti urea, SP-36, TSP dan lain-lain.

2.4.1 Pupuk Organik
Pupuk Organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta,2006). Menurut Simanungkalit dan Suriadikarta (2006), definisi tersebut menunjukan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C- organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Menurut Prihmantoro (1999) keunggulan pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik yaitu memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sumber makanan bagi tanaman.
Dobermann and Fairhurst (2002). Tisdale et al. (1993) menyebutkan delapan fungsi bahan organik dalam tanah, yaitu: (1) sebagai pemasok dan cadangan hara makro dan mikro bagi tanaman, (2) memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), (3) menyediakan energi bagi mikroorganisme tanah; (4) meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah, (5) memperbaiki struktur dan pelumpuran tanah, (6) mencegah pengerasan tanah dan meningkatkan kapasitas infiltrasi air, (7) sebagai perekat partikel tanah, dan (8) sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan cepat reaksi tanah. Multifungsi tersebut bersifat interaktif dan sinergis, yang berdampak positif terhadap kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah. (Uphoff , 2006).
Hasil penelitian Raochmah (2010) menunjukkan bahwa pengaruh yang sama antara perlakuan pemupukan urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen yang berasal dari azola pada tanaman padi. Hasil penelitian lain yaitu Rohcmah dan Sugiyanta (2010) menunjukkan bahwa kombinasi pupuk organik dan anorganik  pada tanaman padi yaitu pupuk organik 10 ton/Ha dan pupuk anorganik (200 kg urea/ha + 100 kg SP-36/ha + 100 kg KCl/ha) mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya menggunkan pupuk anorganik. Hadi (2005) menyarankan agar memanfaatkan abu sekam sebagai alternative pupuk organik sumber kalium pada budidaya tanaman padi sawah.
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, berangkasan, bongkol jagujng, bagas tebu dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).
Pupuk hayati adalah salah satu dari pupuk organik. Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Menurut Vessey (2003) pupuk hayati adalah substansi yang mengandung mikroorganisme hidup yang jika diaplikasikan kepada benih, permukaan tanaman atau tanah dapat memacu pertumbuhan tanaman. Permentan (2009) pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah.

2.4  Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan.
Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian. Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama berikutnya yang dapat mencapai Aras LukaEkonomi, ALE (Economic Injury Level). Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan akibat hama sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan, sehingga tidak terjadi kerugian.
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim, et.al., 2003).
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa merusak tanaman padi adalah
tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, dan hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi masalah (Hendarsih, et. al., 1999). Sedangkan pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi terutama adalah tikus, penggerek batang dan walang sangit.
Berbagai jenis serangga hama menyerang tanaman padi dari mulai benih sampai siap panen, dan masing-masing serangga hama tersebut mempunyai musuh alami di alam. Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi yang dirangkum dari Suharto (2007). Tabel 1. Jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi sawah dan kerusakan yang ditimbulkan.

No
Nama Ilmiah
Nama Daerah
Familia
Kerusakan yang ditimbulkan
1
Leucopholis rorida dan Heteronychus spp.
Hama uret
Scarabidae
Larva memakan akar, dewasa (kumbang) memakan daun padi
2
Antherigona oryzae Malloch dan A.exigua Stein
Lalat bibit padi
Muscidae
Menyerang titik tumbuh bibit padi
3
Nymphula depunctalis
Hama putih
Pyralidae
Menyerang daun
4
Orselia oryzae Wood-Mason
Hama Ganjur
Cecidomyii-dae
Larva memakan titik tumbuh daun
5
Cnaphalocroccis medinalis Guenne
Ulat penggu-lung daun/
Hama putih palsu
Pyralidae
Larva menggulung dan memakan daun
6
Scirpophaga innotata
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
7
Scirpophaga incertulas
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
8
Chilo supressalis
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan bagian dalam batang
9
Sesamea inferens
Pengge-rek batang padi
Noctuidae
Larva menggerek batang dan memakan pelepah daun
10
Scotinophora coartata
Kepin-ding tanah
Pentatomidae
Nimfa dan serangga dewasa menghisap cairan tanaman
11
Nilaparvata lugens Stal
Wereng batang coklat
Delphacidae
Nimfa dan dewasa menghisap cairan batang
12
Sogatella furcifera Jorv.
Wereng batang pung-gung putih
Delphacidae
Menghisap cairan tanaman pada awal tanam
13
Nephotettix spp.
Wereng daun
hijau
Cicadellidae
Menghisap cairan daun dan vektor penyakit beberapa penyakit
14
Recilia dorsalis Motch
Wereng daun zigzag/ loreng
Cicadellidae
Menghisap cairan daun
15
Leptocorissa acuta Thunb.
Walang sangit
Coreidae
Nimfa dan serangga dewasa menghisap bulir padi








 Sumber : Dirangkum dari Suharto,2007

Kemampuan musuh-musuh alami sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99% serangga agar tetap berada pada jumlah yang tidak merugikan, sehingga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami sebagai pengendali ledakan populasi serangga (Marwoto, et al., 1991). Tabel 2 menyajikan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan serangga hama tanaman padi.
Barbosa (1998) menegaskan bahwa diperlukan pengetahuan tentang biologi, perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami dalam menerapkan strategi konservasi musuh alami. Untuk mengembangkan konservasi dan peningkatan musuh alami yang efektif diperlukan pemahaman yang holistik tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi musuh alami dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan hama. Dengan kata lain faktor pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami harus bisa diidentifikasi sehingga bisa dilakukan manipulasi untuk meningkatkan populasi musuh alami atau memfasilitasi interaksi antara musuh alami dan hama atau gulma.

2.5  Panen Dan Pasca Panen
Panen merupakan suatu kegiatan pemungutan hasil pertanian yang telah cukup umur dan sudah saatnya untuk dipetik (Pitojo,2000). Menurut Cahyono (2000), kriteria panen antara lain warna daun sudah berwarna hijau tua tetapi tidak terlalu tua, tanaman sudah masuk ke fase pemasakan dan sesuai umur kemasakan fisiologis serta ditandai dengan senescens untuk tanamn semusim.
Mejio (2008) menjelaskan, pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemanenan, pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen bertujuan untuk menekan kehilangan hasil, meningkatkan kualitas, daya simpan, daya guna komoditas pertanian, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan pascapanen padi meliputi (1) pemanenan, (2) perontokan, (3) perawatan atau pengeringan, (4) pengangkutan, (5) penggilingan, (6) penyimpanan, (7) standardisasi mutu, (8) pengolahan, dan (9) penanganan limbah.
Masalah utama dalam pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil karena tercecer atau tidak terontok, terbuang bersama jerami, rusak dan rendahnya mutu gabah dan beras. Tingkat kehilangan hasil padi selama penanganan pascapanen mencapai 20-21%, yang terbesar terjadi pada pemanenan, yaitu sektar 9% dan pada perontokan sekitar 5% (Ananto et.al , 2003)..
Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu, penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural Practices (GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) (Setyono et al. 2008a). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al. 2006b).
Pada awal kegiatan perontokan padi, petani merontok dengan cara menginjak-injak (iles) padi, membanting (gebot) dan memukul. Bahkan ada petani yang menggunakan sepeda motor dengan menjalankannya diatas hamparan padi yang akan dirontok. Menurut Ananto et.al (2003), cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas kerja yang sangat rendah, yaitu hanya 25-30 kg/jam. Seiring dengan perkembangan teknologi, proses perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi menjadi tiga kategori yaitu secara manual dengan menggunakan alat gebot, pedal threser serta mesin power threser. Upah perontokan biasanya tidak terpisah dari biaya panen secara keseluruhan terutama pada kegiatan panen yang menggunakan alat gebot atau pedal threser, dimana penderep sekaligus sebagai perontokan sudah tercakup didalam upah bawon yang besarnya antara 10-23%.
Perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan membantingkan segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu atau besi. Dalam proses perontokan dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan mengenai penggunaan alas terpal untuk menghindari banyaknya gabah yang tercecer akibat ayunan serta terpaan angin pada saat perontokan. Menurut Suismono (2006), untuk menghindari adanya kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih dialasi plastic atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke tempat perontokan yang telah dialasi plastic terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang dilengkapi dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau memukulkan genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali. Pembersihan sisa gabah yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat menggunakan karung plastic yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak tercecer.

2.6  Pemasaran
Menurut Sudiyono dalam Sutrisno (2009), margin pemasaran merupakan selisih harga dari dua atau lebih tingkat rantai pemasaran, atau antara harga ditingkat produsen dan harga eceran ditingkat konsumen. Margin tata niaga hanya merepresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen, tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas pemasaran produk. 
Ada tiga metode untuk menghitung margin pemasaran, yaitu dengan memilih mengikuti saluran pemasaran dari komoditi spesifik, membandingkan harga pada berbagai tingkat pemasaran yang berbeda, dan mengumpulkan data penjualan serta pembelian kotor tiap jenis pedagang. Dalam penelitian ini margin pemasaran dihitung sebagai selisih antara harga jual gabah di tingkat petani dengan harga jual beras di tingkat pengecer (Anindita, 2003).
Menurut Rachman (1997) dalam Agustian dan Setiadjie (2008) antardaerah dan komoditas, kelembagaan yang terlibat dalam distribusi produk pertanian seringkali terdapat perbedaan. Secara umum mereka yang terlibat dalam pemasaran adalah pedagang pengumpul, para penyalur, pedagang besar yang beroperasi di pusat-pusat pasar, dan akhirnya pengecer di daerah konsumsi itu sendiri yang berhadapan langsung dengan konsumen. Berbeda dengan produk pertanian gabah dan beras, menurut Arifin dan Natawidjaja (2000) dalam Tambunan (2008) bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu swasta dan pemerintah (Bulog). Jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali dengan pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan–perusahaan penggilingan padi, grosir dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran. Sistem distribusi komoditas padi ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antarwilayah atau antar kelompok wilayah.


2.7  Analisis usaha
Merret (1989) dalam Sutojo (2006), mengungkapkan bahwa NPV adalah jumlah present value seluruh net cash flows tahunan selama masa tertentu dan salvage value proyek, dikurangi jumlah investasi proyek. Dengan demikian, suatu proyek dikatakan layak atau bermanfaat untuk dilaksanakan jika NPV proyek tersebut sama atau lebih besar dari nol. NPV sama dengan nol, maka proyek akan mendapat modalnya kembali setelah diperhitungkan discount rate yang berlaku. Apabila NPV proyek tersebut lebih besar dari nol maka proyek dapat dilaksanakan dengan memperoleh keuntungan sebesar nilai NPV, sedangkan apabila NPV lebih kecil dari nol maka sebaiknya proyek tersebut tidak dilaksanakan dan mencari alternatif proyek lain yang pasti menguntungkan.
Gray (1985), menyebutkan terdapat dua cara perhitungan yang digunakan untuk menentukan B/C ratio yaitu net benefit cost ratio (Net B/C) yang dihitung dengan membandingkan jumlah semua NPVB-C yang bernilai positif dengan jumlah semua NPVB-C yang bernilai negatif dan gross benefit cost ratio (Gross B/C ratio) dimana nilainya merupakan perbandingan NPV manfaat dan NPV biaya sepanjang umur proyek. Kegiatan investasi layak jika mempunyai nilai B/C ratio lebih besar atau sama dengan satu, sedangkan jika B/C ratio lebih kecil dari satu maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

2.8  Biaya Penerimaan Usahatani.
Menurut Lipsey (1995), biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksinya. Apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan selalu berubah-ubah, maka biaya produksi yang dikeluarkan juga berubah-ubah nilainya. Namun, apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan adalah tetap, maka biaya produksi yang dikeluarkan untuk memperolehnya tidak berubah nilainya. Dengan demikian keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (biaya yang berubah-ubah).
Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi dan harga jual. Macam penerimaan usahatani bisa lebih dari satu tergantung tanaman yang diusahakan. Oleh karena itu, dalam menghitung total penerimaan usahatani perlu dipisahkan antara analisis parsial usahatani dengan analisis keseluruhan usahatani.
Menurut Syahza (2003) disparitas antara harga gabah dan beras yang tinggi merupakan akibat dari panjangnya rantai distribusi komoditas pertanian. Keadaan ini akan menyebabkan besarnya biaya distribusi marjin pemasaran yang tinggi, sehingga ada bagian yang harus dikeluarkan sebagai keuntungan pedagang.
        BAB III
    METODE PERCOBAAN
3.1 Bahan Dan Alat
1.      Kamera/hp
2.      Alat tulis
3.      Penuntun praktikum
4.      Form pertanyaan.

A. Kajian Aplikasi Teknologi Budidaya Tanaman Pangan Utama Pada Masyarakat Petani.
3.2 Prosedur Pelaksanaan :
1.      Praktikan menuju ke objek pengamatan pada lokasi dan waktu praktikum yang ditetapkan.
2.      Melakukan pengamatan secara visual/pengukuran terhadap semua objek dan wawancara kepada petani untuk memperoleh data kuantitatif atau deskriptif, serta melakukan pencatatan data secara sistematis.

3.2.1 Peubah yang diamati meliputi :
1.      Jenis dan keadaan lahan, keadaan/kondisi tanah, dan sistem irigasi.
2.      Keadaan pertumbuhan tanaman : tinggi, jumlah anakan, panjang malai, warna daun. Dan lain-lain.
3.      Keadaan organisme pengganggu tanaman : Jenis gulma/hama/penyakit yang ada, tingkat/gejala serangan atau populasi.
4.      Keadaan saprodi dan alat yang digunakan pada tahapan kegiatan usaha tani saat itu.
Tugas : Membuat pembahasan dan menarik kesimpulannya menurut pemahaman praktikan terhadap data tersebut dengan cara membandingkan dengan teori dari berbagai sumber yang dikuasai.
3.3 Analisis Usaha Tani
Prosedur Pelaksanaan :
1.      Praktikan menuju ke objek pengamatan pada lokasi dan waktu praktikum yang telah ditetapkan.
2.      Melakukan pengambilan data dengan cara mencatat hasil wawancara dengan  petani yang telah ditentukan
Tugas : Melakukan analisis usaha tani berdasarkan data rata-rata yang anda peroleh dari hasil wawancara. Membuat  pembahasan dan menarik kesimpulannya menurut pemahaman praktikan terhadap data tersebut dengan cara membandingkan dengan teori dari berbagai sumber yang dikuasai.
                                                                        BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil Pengamatan
A.    Identitas Surveyor
             Nama Praktikan       : Nico Dwi Ardiyansah
            NPM                           : E1J013079
            Shift                            : B1 (RABU PUKUL 08:00-10:00 WIB)
            Tanggal Pel.               : 20 November 2015
            Lokasi Survey            : Kelurahan Rawa Makmur
B.     Identitas Responden
Nama Petani             : Wenoto
Umur                        : 56 Tahun
J.Tanggungan          : 5 Orang
Pendidikan                : Sekolah Rakyat
Alamat                       : Rawa Makmur Permai
Lama Bekerja           : 25 Tahun (Petani)
Komoditas                 : Padi
Luas Lahan              : ¾ Hektar
Status Lahan                        : Milik Orang lain (Bagi Hasil)

C.    Peubah Pengamatan

No
Sumber Benih
Jenis
Jumlah
Harga (Rp)
Total (Rp)
1
Jenis Pupuk     
1.      Urea
2.      SP36
3.      Phonska

150 kg
150 kg
150 kg
-
-
-
95.000
127.500
127.500
2
Sumber Benih    
Lokal (Impari 8 dan Banyuasin)
17 kg
Semai Sendiri

3
Jenis Pestisida 
1.      Decis atau Spontan
7 botol

25.000

175.000

4
Kegiatan Usahatani
1.      Pengolahan tanah
2.      Penanaman
( serta semai)
3.      Perawatan
-          Pemupukan 
-          Penyemprotan

4.      Pemanenan
5.      pengeringan
1 HOK

18 HOK


2 HOK
2 HOK


3 HOK
2 HOK

-
1.000.000
5
Jenis Peralatan Yang Dipakai
1.      Pengolahan tanah
2.      Penanaman
3.      Perawatan
-          Pemupukan
-          Penyemprotan
4.      Pemanenan
5.      Pengeringan


Traktor

Manual
Manual
Manual
Sprayer
Manual (Sabit)
Manual


2 Buah






1 Buah

4 Buah



 


6
Produksi yang dicapai

3 ton
4.200

7
                                                          TOTAL BIAYA PRODUKSI = Rp. 1.525.000 (C)
Produksi yang dicapai 1 ½ ton.  Harga satu kilo Rp. 4.200
3.00      x  Rp. 4.200 = Rp. 12.600.000
         =
         = Rp. 6.300.000 (P)
      B =   P-C
      B =  Rp. 6.300.000 – Rp 1.525.000
          = Rp 4.775.000 (B)
         =
          = Rp. 1.591.000 / Bulan
                  B/C ratio           =  
                                      = 3,1 (layak diusahakan)
4.2 Pembahasan
          Praktikum dilaksanakan Di Kelurahan Rawa Makmur dengan responden bernama pak Wenoto yang berusia 56 tahun. Pak Wenoto memiliki pengalaman sebagai petani selama 25 tahun. Beliau mengusahakan tanaman padi sawah seluas ¾ hektar dengan sistem sistem bagi hasil. Alasan beliau mengusahakan tanaman padi karena lahan Di Kelurahan Rawa Makmur merupakan lahan rawa atau mudah tergenang sehingga memungkinkan untuk ditanami padi sawah. Selain itu, Pak Wenoto juga akan mencoba menyewa lahan baru untuk ditanami jagung. Alasanya beliau mencoba menanam jagung karena tanaman padi mudah terserang hama sehingga menurunkan tingkat produksinya. Dengan adanya pembukaan lahan baru diharapkan dapat menjadi cadangan pendapatan selain  dari bertani padi.
Untuk pengolahan tanah, Pak Wenoto sudah menggunakan traktor tangan sebagai alat mempermudah pengolahanya. Pengolahan tanah dengan luas  lahan  sekitar ¾ hektar menghabiskan waktu satu hari jika menggunakan 2 buah traktor dan dua hari jika menggunakan 1 bua traktor tangan. Biaya yang dikeluarkan untuk ¾ hektar sekitar satu juta rupiah. Untuk penyemaian, Pak Wenoto menggunakan benih lokal varietas Impari dan Banyuasin yang menghabiskan waktu sekitar 18 hari. Benih yang telah disemai kemudian dipindahkan ke lahan utama. Penanaman biasanya menghabiskan waktu 3 – 4 hari tergantung jumlah orangnya. Pak Wenoto menggunakan tenaga kerja hanya dari dalam keluarga sehingga tidak perlu mengeluarkan upah tenaga kerja. Kemudian dalam perawatan tanaman, Pak Wenoto melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia tergantung jenis hama yang menyerang. Jenis hama yang biasanya menyerang yaitu hama pianggang. Pestisida yang digunakan antara lain bemerek dagang Spontan dan Decis. Untuk pemupukan tanaman , beliau memerlukan dosis N,P,K masing –masing sekitar 150 kg. Tenaga kerja yang digunakan dalam perawatan tanama juga berasal dari dalam keluarga. Pemanenan padi dilakukan setelah tanaman berumur sekitar 100 hari dan gabah mulai mengering. Pemanenan dilakukan secara bergotong royong menggunakan sabit serta menghabiskan waktu sekitar 3-4 hari pada umumnya. Setelah dilakukan pemanenan, gabah yang dipotong kemudian dirontokan dengan mesin perontok milik kelompok tani yang diketuai Pak Wenoto. Setelah itu gabah dijemur sekitar 3- 4 hari tergantung cuaca. Setelah kering petani menjual hasil kepada tengkulak dengan harga yang ditetapkan.
            Selama menjadi petani pangan, Pak Wenoto mengalami berbagai kendala terutama masalah ketergantungan dengan pupuk kimia dan pestisida kimia. Hal ini dikarenakan ketersediaan pupuk yang mengalami hambatan dan pestisida kimia yang cukup mahal. Pendapatan dari bertanam padi sawah tidak terlalu tinggi dan kadang mengalami kerugian pada saat gagal panen sehingga membuat Pak Wenoto bekerja sebagai buruh tani di lahan milik orang lain. Jika ditinjau dari segi harga, menurut Pak Wenoto harga beras dipasaran selalu berubah-ubah dan jarang mengalami peningkatan signifikan.  Pak Wenoto berpendapat bahwa lebih memilih menjadi petani tanaman tahunan bila dibandingkan menjadi petani tanaman pangan sebab kondisi harga bahan pangan yang tidak menentu serta perawatan yang harus intensif.  
            Saran Pak Wenoto kepada pemerintah sebaiknya pemerintah menjamin ketersediaan pupuk terutama N,P,K sehingga petani tidak perlu khawatir tidak kebagian pupuk. Kemudian Pak Wenoto berharap pengawasan dalam subsidi pupuk perlu dilakukan karena banyak oknum (pengusaha) diluar petani yang membeli pupuk subsidi untuk dijual kembali. Lalu Pak Wenoto berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah melatih para Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) untuk memberikan masukan-masukan kepada petani perihal teknologi yang memudahkan sistem budidaya usahatani padi sawah. Kebanyakan para penyuluh memiliki ilmu yang minim dan pengalaman yang sedikit sehingga petani cenderung malas mendengarkan pengarahan dari PPL kecuali jika ada pemberian bantuan usahatani. Lalu petani berharap bahwa penjaminan harga pada saat musim tanam lebih diutamakan dibandingkan subsidi benih dan pupuk sebab petani dapat menggunakan pupuk organik dan benih hasil panen sendiri.





















BAB V
KESIMPULAN
4.1  Kesimpulan
Berdasarkan interpretasi yang telah dibuat, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Teknik budidaya tanaman padi yang dilakukan Pak Wenoto merupakan teknik yang masih berkembang. Sebab dari sarana produksi dan peralatan yang digunakan masih tergolong sederhana, hanya sebagian sudah menggunakan alat modern seperti pengolahan tanah,perontokan dan penggilingan. Kemudian sistem budidayanya belum menerapkan prinsip pertanian berkelanjutan sebab penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia masih tergolong tinggi dan berbahaya bagi lingkungan. Teknik budidaya padi Di Kelurahan Rawa Makmur tidak menggunakan sistem SRI sehingga hasil produksi petani masih dibawah rata-rata.

2.      Keuntungan ekonomis budidaya tanaman yang dilakukan Pak Wenoto masih tergolong rendah sebab hasil yang didapatkan tidak selalu tinggi. Namun keuntungan masih dapat dikatakan layak karena nilai rationya melebihi modal yang dikeluarkan. Dengan demikian diperlukan metode budidaya yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas hasil serta keuntungan yang didapat petani.














DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Adang dan Iwan Setiadjie. 2008. “Analisis Perkembangan Harga dan Rantai Pemasaran Cabai Merah di Jawa Barat”. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.
Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi. hlm. 631-652. Dalam M.            Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan         Pengembangan Tanam an Pangan, Bogor.
Ananto, E.E. dan A.M. Fagi. 1993. Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm.     101
            108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat  Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993.    Pusat  
           Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman ternak. Puslitbangtan, Bogor.
Anindita, R. 2003. “Dasar-dasar Pemasaran Hasil Pertanian”. Malang: Universitas Brawijaya.
Arifin, Bustanul. 2007. “Disparitas Harga Gabah dan Harga Beras”. Jakarta: Unisosdem, UNILA.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Road Map Strategi SektorPertanian            Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,   Jakarta. 102 hlm.
Bangun, P.1995. Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305
Barbosa, P. 1998. Conservation Biological Control. Academic Press. USA.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
     Bengkulu. Bengkulu
Cahyono,B. (1999).Usaha Tani Dan Penanganan Pasca Panen. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. A Wiley Interscience Pub.,       New York. 618 pp.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and IRRI. p. 2-37.
Fagi, A.M. 1996. Efficient Water Use Movement. Ministry of Agriculture, Republic of     Indonesia, Jakarta. 9 pp.
Gray, C. , et al. 1985. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi. P. 2005. Abu Sekam Padi Pupuk Organik Sumber Kalium Alternatif pada Pada Sawah. GEMA, Th. XVIII/33/2005. Hal 38 – 45.
Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan hama padi pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting). Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung. Balitpa Sukamandi; 133-144 hlm.
Hsieh, S.C. and C.F. Hsieh. 1990. The use of organik matter in crop production. Paper presented at Seminar on the Use of Organik Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Irawan, Sanim B., Siregar H. dan Kurnia U. 2006. Evaluasi Ekonomi Lahan Pertanian:    
      Pendekatan
Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu   
     Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Kasryno, F. 1983. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pertanian dan tingkat upah. Rural         Dynamic Ser. 23: 204-267.
Lamid, Z. 1993. Dampak dan strategi pengendalian sistem usaha tani lading berpindah di kawasan hutan tropis Sumatera Barat. hlm. 75-80. Prosiding Seminar Ilmiah Lustrum       VI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
Lipsey, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta
Krishnasamy, S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G. Ravi, S.C. Tewari, and W. Van der Hoek. 2003. Statigies For Conservasing Water And Effecting Mosquito Vector Control In Rice Ecosystems. International Water management Institude (IWMI). Waorking Paper 56. 21 pp.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Marwoto, Era Wahyuni dan K.E Neering. 1991. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Hama Kedelai Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Malang
Mejio, D.J. 2008. An overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16.
Mercado, B.L. 1979. Introduction to Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.
Mutakin, J. 2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma pada Kondisi SRI (Systen of Rice Intencification). Tesis. Pascasarjana. Universitas Padjajaran. Bandung.
Pitojo,S. 2000. Budidaya Kesemek.Yogyakarta : Penerbit Kanisius
  PERMENTAN. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. No 28/ Permentan/ SR. 130/5/2009.
  Rohcmah, H. F. dan Sugiyanta. 2010.. Pengaruh Pupuk Organik dan AnorganikTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza sativa L.). Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sajad Sjamsoe’oed. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia, PT   
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salikin, K. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, E. 2005. Rice organic farming is a programme for strengtenning food security in sustainable rural development, Makalah disampaikan pada seminar Internasinal.
Setyono, A., Suismono, Jumali, dan Sutrisno. 2006b. Studi penerapan teknik penggilingan unggul mutu untuk produksi beras bersertifikat. hlm. 633-646. Dalam Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Simanungkalit RDM, Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi penelitian ambang ekonomi hama tanaman
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Soekartawi. 2001. Ilmu Usahatani. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama Tanaman Pangan. Penerbit Andi. Yogyakarta..
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur teknik pemanenan padi pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sutedjo, M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 176 hal.
Sutojo, S. 2006. Project Feasibility Study (Studi Kelayakan Proyek: Konsep, Teknik dan Kasus). Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
Sutrisno. 2010. “Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemasaran Beras”. Pati: Kantor Penelitian dan pengembangan Kabupaten Pati.
Syahza, Almasdi. 2003. “Paradigma Baru: Pemasaran Produk Pertanian berbasis Agribisnis”. Jakarta: Jurnal Ekonomi, TH. VIII/01/Juli, PPD&I Fakultas Ekonomi Tarumanegara.
Taslim, H., S. Partoharjono, dan Djunainah.1989. Bercocok Tanam Padi Sawah. hlm. 507-            522.     Dalam M. Ismunadji, M.Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan          Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607.
Uphoff, N. dan A. Satyanarayana. 2006. Prospect for rice sector improvement with the System of Rice Intensification with evidence from India. p.131-142. In Sumarno, Suparyono, A.
Vessey, J. K. 2003. Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer. Plant Soil 255: 571 - 586.















LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar