LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TANAMAN
PANGAN
APLIKASI TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN
ANALISIS USAHA TANI TANAMAN PANGAN UTAMA PADA MASYARAKAT PETANI
DISUSUN Oleh :
NAMA : NICO DWI ARDIYANSAH
NPM : E1J01307
SHIFT : B1 ( RABU PUKUL 08:00-10:00 WIB)
doseN : Ir.dotti suryati,M.Sc
COASS : nurul
halimah
LABORATORIUM
AGRONOMI
jurusan
budidaya pertanian
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sektor pertanian
merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian
besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat dengan
jelas dari peranan sektor pertanian didalam menampung penduduk serta memberikan
kesempatan kerja kepada penduduk. Pembangunan pertanian perlu mendapat
perhatian yang lebih baik, sekalipun prioritas pada kebijaksanaan
industrialisasi sudah dijatuhkan, namun sektor pertanian dapat memiliki
kemampuan untuk menghasilkan surplus. Hal ini terjadi bila produktifitas
diperbesar sehingga menghasillkan pendapatan petani yang lebih tinggi dan
memungkinkan untuk menabung dan mengakumulasikan modal. Peningkatan taraf hidup
tersebut diperoleh petani dengan cara meningkatkan pendapatanya.
Untuk memperoleh
pendapatan yang tinggi mereka melaksanakan berbagai kegiatan dengan
mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain (diversifikasi
usahatani) yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan pertanianya
memungkinkan. Pengembangan pendapatan diluar usahatani (off farm income)
juga akan sangat membantu peningkatan kesejahtraan karena terbatasnya potensi
usahatani, berbagai penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan sektor
pertanian akan mampu menurunkan angka kemiskinan petani (Sudarman, 2001).
Sektor pertanian merupakan pengerak
utama pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu. Share Produk Domestik
Regional Bruto sektor pertanian atas dasar harga berlaku dalam 10 tahun
terakhir mencapai 33%, tahun 2002 sebesar Rp 2,02 triliun dan tahun 2011 naik
menjadi Rp 5,95 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39% per tahun.
Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp
3,71 triliun (62,38%) dikuti subsektor sebesar Rp 1,58 triliun (26,60%), dan
subsektor peternakan sebesar Rp 0,65 triliun (11,02%) (BPS 2011).
Permasalahan yang
paling sering dihadapi petani pada kegiatan usahatani padi terkait dengan
penggunaan sarana produksi usahatani (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan
lainnya) adalah kemampuan petani untuk membeli sarana produksi tersebut karena
rendahnya akumulasi modal usahatani yang dimiliki. Petani sering kali
penggunaan input tidak optimal sehingga pemeliharaan dalam aktivitas usahatani
tidak memadai. Padahal penggunaan input atau faktor produksi seperti bibit,
pupuk urea, pupuk phonska, pelangi, pupuk organik, pestisida dan tenaga kerja
secara tepat dan efisien akan memberikan keuntungan kepada petani. Peningkatan produksi padi hanya dapat
dilakukan dengan pengelolaan usahatani yang baik dengan dukungan teknologi
serta jaminan ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit
unggul, pupuk dan obat-obatan.
Pada saat gabah
melimpah terutama pada musim panen raya berlangsung, sering kali timbul
permasalahan di bidang pemasaran. Guna mengatur stabilitas harga gabah di
pasaran, pemerintah telah menetapkan kebijakan harga dasar gabah sebagai
jaminan harga kepada petani agar tetap bergairah dalam mengusahakan tanaman
padi dan terpacu untuk meningkatkan produksi. Harga dasar (floor price)
yaitu diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen tidak turun,
supaya produsen bisa menerima hasilnya sesuai dengan harga yang ditetapkan
tersebut. Banyaknya barang yang ditawarkan, sementara pembeli dan permintaan
tetap maka harga akan tertekan. Buruknya penetapan harga ini bisa dijadikan
bola bagi tengkulak atau pemodal yang nakal untuk memperoleh keuntungan yang
besar. Harga atap (celling price) yaitu tetap diperlukan khususnya pada
musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas, Sehingga dengan
demikian kebijaksanaan harga dikatakan sangat efektif apabila harga pasar
berada di antara harga dasar dan harga atap.
Melihat
permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan
produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan
sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak
dilakukan.Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka
sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan,
yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Upaya untuk meningkatkan produksi
pertanian (padi) telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui
lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.
Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa masih terjadi
perbedaan yang tinggi antara potensial produksi padi berbeda dengan hasil yang
diperoleh petani. Perbedaan hasil umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi
dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi yaitu kondisi keterbatasan petani
untuk menggunakan inovasi teknologi budidaya, seperti pengetahuan, akses
terhadap sumber modal, pemasaran, prasarana transportasi, irigasi. Sedangkan
faktor teknis ketersediaan air irigasi, kondisi kesuburan lahan, hama dan
penyakit tanaman. Faktor-faktor ini akan menjadi pertimbangan bagi petani dalam
mengalokasikan input seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, dan obat-obatan.
Usahatani padi sawah tidak hanya sebagai
penghasil bahan makanan tetapi juga mempunyai nilai multifungsi yang
menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan dari kegiatan usahatani antara
lain penyedia lapangan kerja dan penyangga ketahanan pangan (Irawan at al.
2006). Oleh karenanya perlu pengelolaan yang tepat dengan menggunakan faktor
produksi secara efisien guna meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan
produksi. Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dalam usahatani padi
sawah akan mengakibatkan rendahnya produksi dan tingginya biaya, dan pada
akhirnya mengurangi pendapatan petani. Bagi petani kegiatan usahatani yang
dilakukan tidak hanya meningkatkan produksi tetapi bagaimana menaikkan
pendapatan melalui pemanfaatan penggunaan faktor produksi.
Pengelolaan input produksi harus
mempertimbangkan prinsip optimalisasi guna pencapaian produksi yang tinggi
dengan alokasi input yang efisien dan efektif. Menurut Soekartawi (2001),
efisien ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis,
efisiensi alokatif (efisiensi harga), dan efisiensi ekonomi. Petani sebagai entrepreneur
akan bertindak secara rasional dan logis dalam pengelolaan usahataninya.
Sumberdaya yang terbatas akan dimanfaatkan oleh petani secara efisien guna
memperoleh keuntungan yang maksimum. Akan tetapi karena keterbatasan ekonomi,
pengetahuan usahatani maka tingkat penggunaan sumberdaya secara optimal belum
tercapai.
Pemerintah memiliki
peran vital untuk memajukan sumberdaya petani agar kesejahteraan petani semakin
meningkat. Pemerintah dapat meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan
sarana produksi pertanian seperti benih/bibit yang memiliki sertifikat standar
nasional, pupuk dan obat-obatan yang memadai. Menurut Sajad (1997), salah satu
usaha dalam meningkatkan produksi padi sangat bergantung pada mutu benih padi.
Untuk itu pemerintah perlu menyediakan sarana produksi dengan mutu yang baik
guna meningkatkan produksi pertanian.
Pembangunan pertanian
dilaksanakan untuk mewujudkan peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan
kesejahteraan petani, sehingga pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin
ketersediaan pangan terutama beras, melalui berbagai langkah kebijakan. Di
samping itu, dalam rangka mengurangi beban penderitaan petani, kebijakan
perberasan di Indonesia hendaknya harus melingkupi bukan hanya pada
persoalan-persoalan produksi beras. Dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan
petani perlu memanfaatkan faktor produksi secara efektif dan efisien untuk
produksi usahataninya. Efisiensi produksi hendaknya penting diperhatikan oleh
petani. Upaya-upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui jalur ekstensifikasi
tampaknya semakin sulit, terbatasnya lahan pertanian produktif dan alih fungsi
lahan dari pertanian ke non pertanian yang sulit dibendung karena berbagai
alasan. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui efisiensi produksi
menjadi salah satu pilihan yang tepat. Dengan efisiensi, petani dapat
menggunakan input produksi sesuai dengan ketentuan untuk mendapat produksi yang
optimal.
1.2
Tujuan Praktikum
1.
mahasiswa dapat menghubungkan penerapan teknologi budidaya dengan produksi
tanaman dan tingkat keuntungan yang dicapainya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Salikin (2003), pertanian berkelanjutan
merupakan kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial
dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan
efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup
dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa. Menurut Soekartawi (1995) dalam
Salikin (2003), terdapat tiga alasan mengapa pembangunan pertanian Indonesia
harus berkelanjutan yaitu: sebagai negara agraris, peranan sektor pertanian
Indonesia dalam sistem perekonomian nasional masih dominan. Kontibusi sektor
pertanian terhadap produk domestik bruto adalah sekitar 20 % dan menyerap 50 %
lebih tenaga kerja di pedesaan. Kedua, agrobisnis dan agroindustri memiliki
peranan yang sangat vital dalam mendukung pembangunan sektor lainnya. Ketiga,
pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan agar sumberdaya alam yang
ada sekarang ini dapat terus dimanfaatkan untuk waktu yang relatif lama. Sektor
pertanian tetap menduduki peran vital yang mendukung kelangsungan kehidupan
bangsa Indonesia.
2.1
Pengolahan Tanah
Teknologi pengolahan tanah mempunyai tujuan ganda, baik
dalam penyiapan lahan dan pengelolaan air maupun pengendalian gulma. Pada era
prarevolusi hijau, penyiapan lahan untuk budi daya padi sawah hanya diawali
dengan pengolahan tanah sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah, hanya
dengan menebas gulma dan kemudian membakarnya (Lamid, 1993)
Pada era revolusi hijau yang
diiringi oleh kemajuan peradaban zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), pengolahan tanah secara sederhana ditinggalkan petani dan
diganti dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian
(alsintan). OTS menjadi salah satu komponen teknologi anjuran dalam program
intensifikasi padi sawah (Bimas, Inmas,Insus, dan Supra Insus) yang
mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan teknologi OTS awalnya berdampak positif terhadap
efisiensi usaha tani padi karena menghemat biaya dan tenaga kerja untuk
pengendalian gulma, memfasilitasi penerapan komponen teknologi lain, dan
meningkatkan produktivitas (Kasryno 1983; Ananto 1989). Namun, di balik
keberhasilan itu, revolusi hijau meninggalkan beberapa masalah, antara lain
tanah menjadi sakit (soil sickness) (Utomo 1995). Pelumpuran tanah secara
terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan anorganik pada takaran tinggi diduga
menjadi salah satu penyebab perubahan fisika kimia tanah pada zona perakaran
tanaman, yang berdampak terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
Perubahan iklim berdampak pula
terhadap perubahan fisik tanah dan penurunan produktivitas tanaman yang pada
gilirannya akan menurunkan produksi Padi
sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan terhadap perubahan iklim dan
penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di bidang pertanian (Las et al., 2008; Badan Litbang Pertanian
2010).
Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah satu teknologi yang
prospektif dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS dan menurunkan
GRK dalam pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010). TOT dikenal
sebagai teknologi olah tanah konservasi (OTK) (conservation tillage) dan makin
populer di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, karena memiliki
beberapa keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman
biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata,
memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas tanam dan
pendapatan (Simanungkalit, 2006). Selain itu, teknologi ini membuka peluang
bagi penggunaan herbisida nonselektif purnatumbuh yang bekerja secara sistemik
atau secara kontak (Bangun 1995; Utomo 1995).
Olah Tanah Sempurna (OTS) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
program intensifikasi padi sawah. Swasembada beras yang diraih pada tahun 1984
tentu tidak dapat dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan tulang
punggung pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program
intensifikasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah,
seperti degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah
pertanian (residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta
timbulnya biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hsieh, 1990).
Proses OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah
sampai jenuh bahkan kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh
pembajakan dua kali dan penggaruan untuk pelumpuran lahan, memerlukan waktu
relatif lama sebelum padi ditanam. Tujuan utama OTS adalah mengendalikan gulma
pada stadia awal pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi tanah, mencampur sisa
gulma dan tanaman dengan tanah, membantu pembentukan tapak bajak, menyeragamkan
tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor (P),
dan memudahkan tanam (Taslim et al.,
1989).
Pada budi daya padi sawah, masing-masing 30% dari total
kebutuhan air, total tenaga kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan
lahan sehingga indeks pertanaman maksimum hanya 200-250/tahun (Ananto dan Fagi
1993). Pembajakan atau pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke
luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan organik, dan hara
tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur besi (Fe) dan
sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran (oksidasi) sehingga
meracuni akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma (Mercado et.al, 1979).
Penerapan OTS dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul
memberikan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih baik, tetapi indeks
pertanaman lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan mesin pengolah tanah
(hand tractor) karena memerlukan waktu yang lebih panjang (De Datta 1981).
Dengan menggunakan bajak traktor, proses tanam dapat dipercepat sehingga indeks
pertanaman meningkat. Namun, hasil padi lebih rendah karena adanya senyawa
beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh proses pelapukan bahan organik (gulma
dan singgang). Senyawa ini mengganggu pertumbuhan vegetatif dan reproduktif
tanaman.
2.2
Pengelolaan Irigasi
dan
Drainase
Pemberian air pada padi sawah dalam jaringan irigasi, terdapat 3
sistem, yaitu : sistem irigasi terus menerus, sistem irigasi rotasi, dan sistem
irigasi berselang. Kebanyakan jaringan irigasi yang ada di Indonesia,
menerapkan sistem irigasi terus menerus (continous flow).
Dalam penelitiannya di
madura, Krishnasamy et al. (2003)
menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi
genangan air dilahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi
(varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produktivitasnya relatif lebih tinggi
dibanding sistem irigasi terus menerus dan irigasi bergilir (Krishnasamy et al. 2003).
Dengan irigasi
berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang
terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat
2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan
terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dann
berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Lebih jauh Krishnasamy et al.(2003) melaporkan bahwa
produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding
penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat
hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan
sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibandingkan pada sistem
penggenangan terus menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%).
2.3
Pemupukan
Pemupukan adalah cara
yang digunakan untuk memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Pupuk sendiri
dibagi menjadi dua yatiu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik merupakan
pupuk hasil dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba yang hasil akhirnya
dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Contohnya yaitu pupuk kandang, pupuk kompos, pupuk hijau,
pupuk kascing. Pupuk anorganik adalah pupuk buatan pabrik berupa bahan kimia
yang riramu sedikian rupa sehingga menghasilkan pupuk yang dapat digunakan
untuk tanaman, seperti pupuk urea, SP-36, dan KCl (Hadi,2005).
Havlin et al. (2005) menyatakan bahwa unsur
hara yang dibutuhkan tanaman padi ada 16 unsur hara essensial yaitu unsur hara
makro dan mikro. Tetapi, unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak yaitu
N, P dan K ditambah unsur hara makro lain dan unsur hara mikro yang dibutuhkan
dalam jumlah yang kecil. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak
selalu mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin,
2003). Menurut Hadi (2005) pupuk adalah bahan yang memberikan zat hara bagi
tanaman. Pupuk yang dikenal saat ini ada dua yaitu pupuk organik seperti pupuk
hayati, kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan lain-lain, dan pupuk anorganik
seperti urea, SP-36, TSP dan lain-lain.
2.4.1
Pupuk Organik
Pupuk Organik adalah
nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat
dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta,2006).
Menurut Simanungkalit dan Suriadikarta (2006), definisi tersebut menunjukan
bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C- organik atau bahan
organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda
dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan
pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Menurut
Prihmantoro (1999) keunggulan pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik yaitu
memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan
kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sumber makanan bagi tanaman.
Dobermann and Fairhurst
(2002). Tisdale et al. (1993) menyebutkan delapan fungsi bahan organik
dalam tanah, yaitu: (1) sebagai pemasok dan cadangan hara makro dan mikro bagi
tanaman, (2) memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), (3) menyediakan energi
bagi mikroorganisme tanah; (4) meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah, (5)
memperbaiki struktur dan pelumpuran tanah, (6) mencegah pengerasan tanah dan
meningkatkan kapasitas infiltrasi air, (7) sebagai perekat partikel tanah, dan
(8) sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan cepat reaksi tanah.
Multifungsi tersebut bersifat interaktif dan sinergis, yang berdampak positif
terhadap kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah. (Uphoff , 2006).
Hasil penelitian
Raochmah (2010) menunjukkan bahwa pengaruh yang sama antara perlakuan pemupukan
urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen yang berasal dari azola
pada tanaman padi. Hasil penelitian lain yaitu Rohcmah dan Sugiyanta (2010)
menunjukkan bahwa kombinasi pupuk organik dan anorganik pada tanaman padi yaitu pupuk organik 10
ton/Ha dan pupuk anorganik (200 kg urea/ha + 100 kg SP-36/ha + 100 kg KCl/ha)
mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya menggunkan
pupuk anorganik. Hadi (2005) menyarankan agar memanfaatkan abu sekam sebagai
alternative pupuk organik sumber kalium pada budidaya tanaman padi sawah.
Sumber bahan organik
dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami,
berangkasan, bongkol jagujng, bagas tebu dan sabut kelapa), limbah ternak,
limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Limbah
industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari pabrik
gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak,
dan sebagainya (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).
Pupuk hayati adalah
salah satu dari pupuk organik. Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung
mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk
membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Menurut Vessey (2003)
pupuk hayati adalah substansi yang mengandung mikroorganisme hidup yang jika
diaplikasikan kepada benih, permukaan tanaman atau tanah dapat memacu
pertumbuhan tanaman. Permentan (2009) pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah.
2.4 Pengendalian Hama Dan Penyakit
Tanaman
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika
populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan
akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan
komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah
meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat
menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat
berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas
Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang
lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu
secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan
penyakit perlu dilaksanakan.
Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi
adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai
dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan
kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian. Menurut
Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang
memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama
berikutnya yang dapat mencapai Aras LukaEkonomi, ALE (Economic Injury Level).
Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang
mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan
akibat hama sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan,
sehingga tidak terjadi kerugian.
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan
perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman,
populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll).
Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak
terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit
tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena
tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman,
budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian
mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu
diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan
keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya
sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan
tanaman (Makarim, et.al., 2003).
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa
merusak tanaman padi adalah
tikus,
wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, dan hawar
daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam
keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar
kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada
varietas rentan juga menjadi masalah (Hendarsih, et. al., 1999). Sedangkan
pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi terutama adalah
tikus, penggerek batang dan walang sangit.
Berbagai jenis serangga hama menyerang tanaman padi
dari mulai benih sampai siap panen, dan masing-masing serangga hama tersebut
mempunyai musuh alami di alam. Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh
jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi yang dirangkum dari Suharto (2007). Tabel 1. Jenis-jenis
serangga hama pada tanaman padi sawah dan kerusakan yang ditimbulkan.
No
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Daerah
|
Familia
|
Kerusakan
yang ditimbulkan
|
|||
1
|
Leucopholis
rorida dan Heteronychus
spp.
|
Hama uret
|
Scarabidae
|
Larva
memakan akar, dewasa (kumbang) memakan daun padi
|
|||
2
|
Antherigona
oryzae Malloch dan
A.exigua Stein
|
Lalat bibit
padi
|
Muscidae
|
Menyerang
titik tumbuh bibit padi
|
|||
3
|
Nymphula
depunctalis
|
Hama putih
|
Pyralidae
|
Menyerang
daun
|
|||
4
|
Orselia
oryzae Wood-Mason
|
Hama Ganjur
|
Cecidomyii-dae
|
Larva
memakan titik tumbuh daun
|
|||
5
|
Cnaphalocroccis
medinalis Guenne
|
Ulat
penggu-lung daun/
Hama putih
palsu
|
Pyralidae
|
Larva
menggulung dan memakan daun
|
|||
6
|
Scirpophaga
innotata
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
|
|||
7
|
Scirpophaga
incertulas
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
|
|||
8
|
Chilo
supressalis
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan bagian dalam batang
|
|||
9
|
Sesamea
inferens
|
Pengge-rek
batang padi
|
Noctuidae
|
Larva
menggerek batang dan memakan pelepah daun
|
|||
10
|
Scotinophora
coartata
|
Kepin-ding
tanah
|
Pentatomidae
|
Nimfa dan
serangga dewasa menghisap cairan tanaman
|
|||
11
|
Nilaparvata
lugens Stal
|
Wereng
batang coklat
|
Delphacidae
|
Nimfa dan
dewasa menghisap cairan batang
|
|||
12
|
Sogatella
furcifera Jorv.
|
Wereng
batang pung-gung putih
|
Delphacidae
|
Menghisap
cairan tanaman pada awal tanam
|
|||
13
|
Nephotettix
spp.
|
Wereng daun
hijau
|
Cicadellidae
|
Menghisap
cairan daun dan vektor penyakit beberapa penyakit
|
|||
14
|
Recilia
dorsalis Motch
|
Wereng daun
zigzag/ loreng
|
Cicadellidae
|
Menghisap
cairan daun
|
|||
15
|
Leptocorissa
acuta Thunb.
|
Walang
sangit
|
Coreidae
|
Nimfa dan
serangga dewasa menghisap bulir padi
|
|||
Sumber : Dirangkum dari Suharto,2007
Kemampuan musuh-musuh alami sebenarnya mampu
mengendalikan lebih dari 99% serangga agar tetap berada pada jumlah yang tidak
merugikan, sehingga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara sengaja
mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami sebagai pengendali ledakan
populasi serangga (Marwoto, et al., 1991). Tabel 2 menyajikan kemampuan
musuh alami dalam mengendalikan serangga hama tanaman padi.
Barbosa (1998) menegaskan bahwa diperlukan
pengetahuan tentang biologi, perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami
dalam menerapkan strategi konservasi musuh alami. Untuk mengembangkan
konservasi dan peningkatan musuh alami yang efektif diperlukan pemahaman yang
holistik tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi musuh alami
dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan hama. Dengan kata lain faktor
pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami harus bisa diidentifikasi
sehingga bisa dilakukan manipulasi untuk meningkatkan populasi musuh alami atau
memfasilitasi interaksi antara musuh alami dan hama atau gulma.
2.5 Panen Dan Pasca Panen
Panen merupakan
suatu kegiatan pemungutan hasil pertanian yang telah cukup umur dan sudah
saatnya untuk dipetik (Pitojo,2000). Menurut Cahyono (2000), kriteria panen
antara lain warna daun sudah berwarna hijau tua tetapi tidak terlalu tua,
tanaman sudah masuk ke fase pemasakan dan sesuai umur kemasakan fisiologis
serta ditandai dengan senescens untuk tanamn semusim.
Mejio (2008)
menjelaskan, pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemanenan,
pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen
bertujuan untuk menekan kehilangan hasil, meningkatkan kualitas, daya simpan,
daya guna komoditas pertanian, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan
nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan pascapanen padi
meliputi (1) pemanenan, (2) perontokan, (3) perawatan atau pengeringan, (4)
pengangkutan, (5) penggilingan, (6) penyimpanan, (7) standardisasi mutu, (8)
pengolahan, dan (9) penanganan limbah.
Masalah utama
dalam pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil karena tercecer atau
tidak terontok, terbuang bersama jerami, rusak dan rendahnya mutu gabah dan
beras. Tingkat kehilangan hasil padi selama penanganan pascapanen mencapai
20-21%, yang terbesar terjadi pada pemanenan, yaitu sektar 9% dan pada
perontokan sekitar 5% (Ananto et.al
, 2003)..
Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak
positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu,
penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural Practices
(GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) (Setyono et
al. 2008a). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan
mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al.
2006b).
Pada awal kegiatan
perontokan padi, petani merontok dengan cara menginjak-injak (iles) padi,
membanting (gebot) dan memukul. Bahkan ada petani yang menggunakan sepeda motor
dengan menjalankannya diatas hamparan padi yang akan dirontok. Menurut Ananto et.al (2003), cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas
kerja yang sangat rendah, yaitu hanya 25-30 kg/jam. Seiring dengan perkembangan
teknologi, proses perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi
menjadi tiga kategori yaitu secara manual dengan menggunakan alat gebot, pedal
threser serta mesin power threser. Upah perontokan biasanya tidak terpisah dari
biaya panen secara keseluruhan terutama pada kegiatan panen yang menggunakan
alat gebot atau pedal threser, dimana penderep sekaligus sebagai perontokan sudah
tercakup didalam upah bawon yang besarnya antara 10-23%.
Perontokan padi
dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan membantingkan segenggam batang
padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu atau besi. Dalam proses perontokan
dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan mengenai penggunaan alas terpal
untuk menghindari banyaknya gabah yang tercecer akibat ayunan serta terpaan
angin pada saat perontokan. Menurut Suismono (2006), untuk menghindari adanya
kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih
dialasi plastic atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke
tempat perontokan yang telah dialasi plastic terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang
dilengkapi dengan tirai.
Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau memukulkan genggaman padi ke
alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali. Pembersihan sisa gabah yang masih menempel
pada jerami dapat dilakukan secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat
menggunakan karung plastic yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak
tercecer.
2.6 Pemasaran
Menurut
Sudiyono dalam Sutrisno (2009), margin pemasaran merupakan selisih harga dari
dua atau lebih tingkat rantai pemasaran, atau antara harga ditingkat produsen
dan harga eceran ditingkat konsumen. Margin tata niaga hanya merepresentasikan
perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen,
tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas pemasaran produk.
Ada
tiga metode untuk menghitung margin pemasaran, yaitu dengan memilih mengikuti
saluran pemasaran dari komoditi spesifik, membandingkan harga pada berbagai
tingkat pemasaran yang berbeda, dan mengumpulkan data penjualan serta pembelian
kotor tiap jenis pedagang. Dalam penelitian ini margin pemasaran dihitung
sebagai selisih antara harga jual gabah di tingkat petani dengan harga jual
beras di tingkat pengecer (Anindita, 2003).
Menurut
Rachman (1997) dalam Agustian dan Setiadjie (2008) antardaerah dan komoditas,
kelembagaan yang terlibat dalam distribusi produk pertanian seringkali terdapat
perbedaan. Secara umum mereka yang terlibat dalam pemasaran adalah pedagang
pengumpul, para penyalur, pedagang besar yang beroperasi di pusat-pusat pasar,
dan akhirnya pengecer di daerah konsumsi itu sendiri yang berhadapan langsung
dengan konsumen. Berbeda dengan produk pertanian gabah dan beras, menurut
Arifin dan Natawidjaja (2000) dalam Tambunan (2008) bahwa di banyak wilayah ada
dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu swasta dan pemerintah
(Bulog). Jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak
pemain yang diawali dengan pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan–perusahaan
penggilingan padi, grosir dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran. Sistem
distribusi komoditas padi ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya
antarwilayah atau antar kelompok wilayah.
2.7 Analisis usaha
Merret
(1989) dalam Sutojo (2006), mengungkapkan bahwa NPV adalah jumlah present
value seluruh net cash flows tahunan selama masa tertentu dan salvage
value proyek, dikurangi jumlah investasi proyek. Dengan demikian, suatu
proyek dikatakan layak atau bermanfaat untuk dilaksanakan jika NPV proyek
tersebut sama atau lebih besar dari nol. NPV sama dengan nol, maka proyek akan
mendapat modalnya kembali setelah diperhitungkan discount rate yang
berlaku. Apabila NPV proyek tersebut lebih besar dari nol maka proyek dapat
dilaksanakan dengan memperoleh keuntungan sebesar nilai NPV, sedangkan apabila
NPV lebih kecil dari nol maka sebaiknya proyek tersebut tidak dilaksanakan dan
mencari alternatif proyek lain yang pasti menguntungkan.
Gray
(1985), menyebutkan terdapat dua cara perhitungan yang digunakan untuk
menentukan B/C ratio yaitu net benefit cost ratio (Net B/C) yang
dihitung dengan membandingkan jumlah semua NPVB-C yang bernilai positif dengan
jumlah semua NPVB-C yang bernilai negatif dan gross benefit cost ratio (Gross
B/C ratio) dimana nilainya merupakan perbandingan NPV manfaat dan
NPV biaya sepanjang umur proyek. Kegiatan investasi layak jika mempunyai nilai
B/C ratio lebih besar atau sama dengan satu, sedangkan jika B/C ratio
lebih kecil dari satu maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
2.8 Biaya Penerimaan Usahatani.
Menurut
Lipsey (1995), biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh
perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang
akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksinya. Apabila
jumlah suatu faktor produksi yang digunakan selalu berubah-ubah, maka biaya
produksi yang dikeluarkan juga berubah-ubah nilainya. Namun, apabila jumlah
suatu faktor produksi yang digunakan adalah tetap, maka biaya produksi yang
dikeluarkan untuk memperolehnya tidak berubah nilainya. Dengan demikian
keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (biaya yang berubah-ubah).
Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani
merupakan perkalian antara produksi dan harga jual. Macam penerimaan usahatani
bisa lebih dari satu tergantung tanaman yang diusahakan. Oleh karena itu, dalam
menghitung total penerimaan usahatani perlu dipisahkan antara analisis parsial
usahatani dengan analisis keseluruhan usahatani.
Menurut Syahza (2003) disparitas antara harga gabah
dan beras yang tinggi merupakan akibat dari panjangnya rantai distribusi
komoditas pertanian. Keadaan ini akan menyebabkan besarnya biaya distribusi
marjin pemasaran yang tinggi, sehingga ada bagian yang harus dikeluarkan
sebagai keuntungan pedagang.
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Bahan Dan Alat
1. Kamera/hp
2. Alat
tulis
3. Penuntun
praktikum
4. Form
pertanyaan.
A. Kajian Aplikasi
Teknologi Budidaya Tanaman Pangan Utama Pada Masyarakat Petani.
3.2 Prosedur
Pelaksanaan :
1. Praktikan
menuju ke objek pengamatan pada lokasi dan waktu praktikum yang ditetapkan.
2. Melakukan
pengamatan secara visual/pengukuran terhadap semua objek dan wawancara kepada
petani untuk memperoleh data kuantitatif atau deskriptif, serta melakukan
pencatatan data secara sistematis.
3.2.1
Peubah yang diamati meliputi :
1.
Jenis dan keadaan lahan, keadaan/kondisi
tanah, dan sistem irigasi.
2.
Keadaan pertumbuhan tanaman : tinggi,
jumlah anakan, panjang malai, warna daun. Dan lain-lain.
3.
Keadaan organisme pengganggu tanaman :
Jenis gulma/hama/penyakit yang ada, tingkat/gejala serangan atau populasi.
4.
Keadaan saprodi dan alat yang digunakan
pada tahapan kegiatan usaha tani saat itu.
Tugas
: Membuat pembahasan dan menarik kesimpulannya menurut pemahaman praktikan
terhadap data tersebut dengan cara membandingkan dengan teori dari berbagai
sumber yang dikuasai.
3.3
Analisis Usaha Tani
Prosedur
Pelaksanaan :
1. Praktikan
menuju ke objek pengamatan pada lokasi dan waktu praktikum yang telah
ditetapkan.
2. Melakukan
pengambilan data dengan cara mencatat hasil wawancara dengan petani yang telah ditentukan
Tugas : Melakukan analisis usaha
tani berdasarkan data rata-rata yang anda peroleh dari hasil wawancara.
Membuat pembahasan dan menarik
kesimpulannya menurut pemahaman praktikan terhadap data tersebut dengan cara
membandingkan dengan teori dari berbagai sumber yang dikuasai.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Pengamatan
A.
Identitas
Surveyor
Nama Praktikan : Nico Dwi Ardiyansah
NPM :
E1J013079
Shift :
B1 (RABU PUKUL 08:00-10:00 WIB)
Tanggal Pel. :
20 November 2015
Lokasi Survey :
Kelurahan Rawa Makmur
B.
Identitas
Responden
Nama
Petani : Wenoto
Umur :
56 Tahun
J.Tanggungan
: 5 Orang
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Alamat : Rawa Makmur Permai
Lama
Bekerja : 25 Tahun (Petani)
Komoditas : Padi
Luas
Lahan : ¾
Hektar
Status
Lahan : Milik Orang
lain (Bagi Hasil)
C.
Peubah
Pengamatan
No
|
Sumber Benih
|
Jenis
|
Jumlah
|
Harga
(Rp)
|
Total (Rp)
|
1
|
Jenis
Pupuk
|
1. Urea
2. SP36
3. Phonska
|
150 kg
150 kg
150 kg
|
-
-
-
|
95.000
127.500
127.500
|
2
|
Sumber
Benih
|
Lokal
(Impari 8 dan Banyuasin)
|
17 kg
|
Semai Sendiri
|
|
3
|
Jenis
Pestisida
|
1. Decis
atau Spontan
|
7 botol
|
25.000
|
175.000
|
4
|
Kegiatan
Usahatani
|
1. Pengolahan
tanah
2. Penanaman
( serta semai)
3. Perawatan
-
Pemupukan
-
Penyemprotan
4. Pemanenan
5. pengeringan
|
1 HOK
18 HOK
2
HOK
2
HOK
3 HOK
2 HOK
|
-
|
1.000.000
|
5
|
Jenis
Peralatan Yang Dipakai
1.
Pengolahan
tanah
2.
Penanaman
3.
Perawatan
-
Pemupukan
-
Penyemprotan
4.
Pemanenan
5.
Pengeringan
|
Traktor
Manual
Manual
Manual
Sprayer
Manual
(Sabit)
Manual
|
2
Buah
1
Buah
4
Buah
|
|
|
6
|
Produksi
yang dicapai
|
|
3
ton
|
4.200
|
|
7
|
TOTAL BIAYA PRODUKSI = Rp. 1.525.000 (C)
|
Produksi yang dicapai 1 ½ ton. Harga satu kilo Rp. 4.200
3.00
x Rp. 4.200 = Rp. 12.600.000
=
= Rp. 6.300.000 (P)
B =
P-C
B =
Rp. 6.300.000 – Rp 1.525.000
= Rp 4.775.000 (B)
=
= Rp. 1.591.000 / Bulan
B/C ratio =
= 3,1
(layak diusahakan)
4.2 Pembahasan
Praktikum
dilaksanakan Di Kelurahan Rawa Makmur dengan responden bernama pak Wenoto yang
berusia 56 tahun. Pak Wenoto memiliki pengalaman sebagai petani selama 25
tahun. Beliau mengusahakan tanaman padi sawah seluas ¾ hektar dengan sistem
sistem bagi hasil. Alasan beliau mengusahakan tanaman padi karena lahan Di
Kelurahan Rawa Makmur merupakan lahan rawa atau mudah tergenang sehingga
memungkinkan untuk ditanami padi sawah. Selain itu, Pak Wenoto juga akan
mencoba menyewa lahan baru untuk ditanami jagung. Alasanya beliau mencoba menanam
jagung karena tanaman padi mudah terserang hama sehingga menurunkan tingkat
produksinya. Dengan adanya pembukaan lahan baru diharapkan dapat menjadi
cadangan pendapatan selain dari bertani
padi.
Untuk pengolahan tanah,
Pak Wenoto sudah menggunakan traktor tangan sebagai alat mempermudah
pengolahanya. Pengolahan tanah dengan luas
lahan sekitar ¾ hektar
menghabiskan waktu satu hari jika menggunakan 2 buah traktor dan dua hari jika
menggunakan 1 bua traktor tangan. Biaya yang dikeluarkan untuk ¾ hektar sekitar
satu juta rupiah. Untuk penyemaian, Pak Wenoto menggunakan benih lokal varietas
Impari dan Banyuasin yang menghabiskan waktu sekitar 18 hari. Benih yang telah
disemai kemudian dipindahkan ke lahan utama. Penanaman biasanya menghabiskan
waktu 3 – 4 hari tergantung jumlah orangnya. Pak Wenoto menggunakan tenaga
kerja hanya dari dalam keluarga sehingga tidak perlu mengeluarkan upah tenaga
kerja. Kemudian dalam perawatan tanaman, Pak Wenoto melakukan pengendalian
dengan menggunakan pestisida kimia tergantung jenis hama yang menyerang. Jenis
hama yang biasanya menyerang yaitu hama pianggang. Pestisida yang digunakan
antara lain bemerek dagang Spontan dan Decis. Untuk pemupukan tanaman , beliau
memerlukan dosis N,P,K masing –masing sekitar 150 kg. Tenaga kerja yang
digunakan dalam perawatan tanama juga berasal dari dalam keluarga. Pemanenan
padi dilakukan setelah tanaman berumur sekitar 100 hari dan gabah mulai
mengering. Pemanenan dilakukan secara bergotong royong menggunakan sabit serta
menghabiskan waktu sekitar 3-4 hari pada umumnya. Setelah dilakukan pemanenan,
gabah yang dipotong kemudian dirontokan dengan mesin perontok milik kelompok
tani yang diketuai Pak Wenoto. Setelah itu gabah dijemur sekitar 3- 4 hari
tergantung cuaca. Setelah kering petani menjual hasil kepada tengkulak dengan
harga yang ditetapkan.
Selama
menjadi petani pangan, Pak Wenoto mengalami berbagai kendala terutama masalah
ketergantungan dengan pupuk kimia dan pestisida kimia. Hal ini dikarenakan
ketersediaan pupuk yang mengalami hambatan dan pestisida kimia yang cukup
mahal. Pendapatan dari bertanam padi sawah tidak terlalu tinggi dan kadang
mengalami kerugian pada saat gagal panen sehingga membuat Pak Wenoto bekerja sebagai
buruh tani di lahan milik orang lain. Jika ditinjau dari segi harga, menurut
Pak Wenoto harga beras dipasaran selalu berubah-ubah dan jarang mengalami
peningkatan signifikan. Pak Wenoto
berpendapat bahwa lebih memilih menjadi petani tanaman tahunan bila
dibandingkan menjadi petani tanaman pangan sebab kondisi harga bahan pangan
yang tidak menentu serta perawatan yang harus intensif.
Saran
Pak Wenoto kepada pemerintah sebaiknya pemerintah menjamin ketersediaan pupuk
terutama N,P,K sehingga petani tidak perlu khawatir tidak kebagian pupuk.
Kemudian Pak Wenoto berharap pengawasan dalam subsidi pupuk perlu dilakukan
karena banyak oknum (pengusaha) diluar petani yang membeli pupuk subsidi untuk
dijual kembali. Lalu Pak Wenoto berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah melatih
para Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) untuk memberikan masukan-masukan kepada
petani perihal teknologi yang memudahkan sistem budidaya usahatani padi sawah.
Kebanyakan para penyuluh memiliki ilmu yang minim dan pengalaman yang sedikit sehingga
petani cenderung malas mendengarkan pengarahan dari PPL kecuali jika ada
pemberian bantuan usahatani. Lalu petani berharap bahwa penjaminan harga pada
saat musim tanam lebih diutamakan dibandingkan subsidi benih dan pupuk sebab
petani dapat menggunakan pupuk organik dan benih hasil panen sendiri.
BAB
V
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
interpretasi yang telah dibuat, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Teknik budidaya tanaman padi yang dilakukan
Pak Wenoto merupakan teknik yang masih berkembang. Sebab dari sarana produksi
dan peralatan yang digunakan masih tergolong sederhana, hanya sebagian sudah
menggunakan alat modern seperti pengolahan tanah,perontokan dan penggilingan. Kemudian
sistem budidayanya belum menerapkan prinsip pertanian berkelanjutan sebab
penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia masih tergolong tinggi dan berbahaya
bagi lingkungan. Teknik budidaya padi Di Kelurahan Rawa Makmur tidak
menggunakan sistem SRI sehingga hasil produksi petani masih dibawah rata-rata.
2.
Keuntungan ekonomis budidaya tanaman
yang dilakukan Pak Wenoto masih tergolong rendah sebab hasil yang didapatkan
tidak selalu tinggi. Namun keuntungan masih dapat dikatakan layak karena nilai
rationya melebihi modal yang dikeluarkan. Dengan demikian diperlukan metode
budidaya yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas hasil serta
keuntungan yang didapat petani.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustian,
Adang dan Iwan Setiadjie. 2008. “Analisis Perkembangan Harga dan Rantai
Pemasaran Cabai Merah di Jawa Barat”. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.
Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi.
hlm. 631-652. Dalam M. Ismunadji,
M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanam an Pangan, Bogor.
Ananto, E.E. dan A.M. Fagi. 1993.
Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm. 101
108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan
teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman
ternak. Puslitbangtan, Bogor.
Anindita, R. 2003. “Dasar-dasar
Pemasaran Hasil Pertanian”. Malang: Universitas Brawijaya.
Arifin,
Bustanul. 2007. “Disparitas Harga Gabah dan Harga Beras”. Jakarta:
Unisosdem, UNILA.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2010. Road Map Strategi SektorPertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta. 102
hlm.
Bangun, P.1995. Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305
Barbosa,
P. 1998. Conservation Biological Control. Academic Press. USA.
BPS Prov.
Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi
Bengkulu. Bengkulu
Cahyono,B.
(1999).Usaha Tani Dan Penanganan Pasca
Panen. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
De Datta, S.K. 1981. Principles and
Practices of Rice Production. A Wiley Interscience Pub., New York. 618 pp.
Dobermann, A. and T.
Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash &
Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC)
and IRRI. p. 2-37.
Fagi, A.M. 1996. Efficient Water Use
Movement. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia,
Jakarta. 9 pp.
Gray,
C. , et al. 1985. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Hadi. P. 2005. Abu Sekam Padi Pupuk Organik Sumber Kalium
Alternatif pada Pada Sawah. GEMA, Th. XVIII/33/2005. Hal 38 – 45.
Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan
hama padi pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting).
Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung.
Balitpa Sukamandi; 133-144 hlm.
Hsieh, S.C. and C.F.
Hsieh. 1990. The use of organik matter in crop production. Paper presented at
Seminar on the Use of Organik Fertilizers in Crop Production Suweon, South
Korea, 18-24 June 1990.
Irawan,
Sanim B., Siregar H. dan Kurnia U. 2006. Evaluasi Ekonomi Lahan
Pertanian:
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Kasryno, F. 1983. Perkembangan
penyerapan tenaga kerja pertanian dan tingkat upah. Rural Dynamic Ser. 23: 204-267.
Lamid, Z. 1993. Dampak dan strategi
pengendalian sistem usaha tani lading berpindah di kawasan hutan tropis Sumatera Barat. hlm. 75-80. Prosiding Seminar
Ilmiah Lustrum VI Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
Lipsey,
et al. 1995. Pengantar
Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta
Krishnasamy,
S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G. Ravi, S.C. Tewari, and W. Van der Hoek.
2003. Statigies For Conservasing Water
And Effecting Mosquito Vector Control In Rice Ecosystems. International
Water management Institude (IWMI). Waorking Paper 56. 21 pp.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003.
Petunjuk Teknis
Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu.
Departemen Pertanian; 38 hlm.
Marwoto, Era Wahyuni
dan K.E Neering. 1991. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Hama Kedelai
Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Malang
Mejio, D.J. 2008. An
overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing
losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering
Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16.
Mercado, B.L. 1979. Introduction to
Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.
Mutakin, J.
2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma pada Kondisi SRI
(Systen of Rice Intencification). Tesis.
Pascasarjana. Universitas Padjajaran. Bandung.
Pitojo,S.
2000. Budidaya Kesemek.Yogyakarta :
Penerbit Kanisius
PERMENTAN. 2009. Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. No
28/ Permentan/ SR. 130/5/2009.
Rohcmah, H. F. dan Sugiyanta. 2010.. Pengaruh
Pupuk Organik dan AnorganikTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza
sativa L.). Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sajad
Sjamsoe’oed. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salikin,
K. A. 2003. Sistem Pertanian
Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, E. 2005. Rice
organic farming is a programme for strengtenning food security in sustainable
rural development, Makalah disampaikan
pada seminar Internasinal.
Setyono, A., Suismono,
Jumali, dan Sutrisno. 2006b. Studi penerapan teknik penggilingan unggul mutu untuk
produksi beras bersertifikat. hlm. 633-646. Dalam Inovasi Teknologi Padi
Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Simanungkalit RDM, Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian,
Bogor.
Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi
penelitian ambang ekonomi hama tanaman
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Soekartawi. 1995.
Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Soekartawi. 2001. Ilmu Usahatani. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama
Tanaman Pangan. Penerbit Andi. Yogyakarta..
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur
teknik pemanenan padi pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sutedjo, M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka
Cipta. Jakarta. 176 hal.
Sutojo, S. 2006.
Project Feasibility Study (Studi Kelayakan Proyek: Konsep, Teknik dan Kasus).
Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
Sutrisno. 2010. “Upaya
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemasaran Beras”. Pati: Kantor Penelitian
dan pengembangan Kabupaten Pati.
Syahza, Almasdi. 2003. “Paradigma
Baru: Pemasaran Produk Pertanian berbasis Agribisnis”. Jakarta: Jurnal
Ekonomi, TH. VIII/01/Juli, PPD&I Fakultas Ekonomi Tarumanegara.
Taslim, H., S. Partoharjono, dan
Djunainah.1989. Bercocok Tanam Padi Sawah. hlm. 507- 522. Dalam M.
Ismunadji, M.Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tisdale, S.L., W.L.
Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers.
Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney.
p. 462-607.
Uphoff,
N. dan A. Satyanarayana. 2006. Prospect for rice sector improvement with the
System of Rice Intensification with evidence from India. p.131-142. In Sumarno,
Suparyono, A.
Vessey, J. K. 2003.
Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer. Plant Soil 255: 571 -
586.
LAMPIRAN
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar