Blogger Widgets
Powered By Blogger

Sabtu, 20 Februari 2016

LAPORAN PRAKTIKUM PERTANIAN LESTARI PERTANIAN TERPADU

MAKALAH PERTANIAN LESTARI
KOMPLEMENTASI TANAMAN DAN TERNAK SEBAGAI SISTEM PERTANIAN TERPADU

 DISUSUN Oleh :
NAMA  :   1. ernawati simanjuntak   E1J012041
                            2. Sri devi girsang                          E1J012146
                            3. NICO DWI ARDIYANSAH               E1J013079
                            4. AYU LESTARI                                   E1J013074
                            5. dewi septi yani                  E1J013081
                            6. Hendrik kurniawan                 E1J013041
                            7. NOTOMIN WANIMBO           E1J012188
SHIFT    :  SUB SHFT 1
dosen  :  Ir.Hermansyah,M.P
COASS   : Phrilly Monica panjaitan
  LABORATORIUM AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
 Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri dalam sistem pertanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui. Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan.
Pertanian modern juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur  secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.  Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut : kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian.
Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan-bahan kimia lainnya dalam pertanian dengan tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usahatani yang tinggi, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida di luar kontrol akan dapat merusak tanah dan tolerannya suatu jenis hama dan penyakit tertentu terhadap pestisida disamping juga dapat menghilangkan jenis predator dan parasitoid yang bermanfaat. Bahan-bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai residu pada hasil tanaman, tanah tercuci ke dalam air sungai akibatnya dapat berbahaya bagi kehidupan manusia maupun hewan.
Pemakaian masukan luar yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologi berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Menurut Saleh (2003), dampak negatif sistem pertanian modern terhadap kesehatan manusia adalah akibat penggunaan pestisida/insektisida kimia yang tidak tepat dosis, tidak tepat sasaran, dan tidak tepat aturan. Dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain, berupa keracunan yang bersifat mendadak dan keracunan yang berat (Saleh, 2003).
Sistem pertanian modern mengakibatkan terganggunya keseimbangan sebagai indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam (Salikin, 2003).
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang ada dan akan muncul dalam usaha peningkatan produksi pertanian selama ini, yaitu diantaranya :
1. Penggunaan paket teknologi seperti pupuk anorganik dan pestisida secara tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, disamping dibutuhkan biaya usahatani yang tinggi.
2. Berkurangnya keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut.
3. Adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya menyebabkan dibutuhkan biaya usahatani yang semakin tinggi.
4. Adanya ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.
Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Untuk mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan maka diterapkanlah sistem pertanian terpadu atau Integrated Farming Sistem.
Pertanian terpadu merupakan suatu system berkesinambungan dan tidak berdiri sendiri hasil dari alam akan kembali ke alam. Dengan bertambahnya penduduk, meningkatnya pendapatan dan pendidikan akan mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya nilai gizi dan kesehatan. Sisa tanaman dapat di manfaatkan untuk pakan ternak , sedangkan kotoran ternak dapat dijadikan pupuk bagi tanaman hortilkutura.
Sistem Pertanian Terpadu (SPT) atau Integrated Farming Sistem (IFS) telah merubah dengan cepat peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura, agroindustri dan segala aktivitas pertanian di beberapa negara, khususnya di daerah tropis dan sub-tropis basah (not-arid). Pertanian di seluruh dunia tidak akan menampakkan hasilnya tanpa input tinggi dan seringkali tidak kompromi dengan kelangsungan hidup ekonomi dan keberlajutan ekologinya. Situasi ini menjadi lebih memperburuk SPT, semuanya harus dibayar dengan bahan dan energi yang diimpor di mana bahan berpotensi sebagai polutan juga digunakan.
SPT dapat mengatasi semua kendala tersebut, tidak saja dari aspek ekonomi dan permasalahan ekologis, tetapi juga menyediakan sarana produksi yang diperlukan seperti bahan bakar, pupuk dan makanan, di samping produktivitas terus meningkat. Hal itu dapat mengubah sistem pertanian yang penuh resiko (terutama di negara-negara miskin) kearah sistem pertanian ekonomis dan kondisi ekologi seimbang.
Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik disamping mampu menghemat penggunaan pupuk anorganik juga sekaligus mampu memperbaiki struktur dan ketersediaan unsure hara tanah. Dampak ini terlihat dengan meningkatnya produktivitas lahan.
Integrasi sumber-sumber hewan ternak dan tumbuhan untuk memperoleh out put biomassa yang optimal dalam lingkungan ekologi dan sosio-ekonomi tertentu harus menjadi tujuan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Interaksi yang sesuai diantara komponen-komponen harus menghasilkan respon komplementasi (saling melengkapi) dan sinergetik sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan memperkuat viabilitas ekonomi dari sistem pertanian yang terpadu.
Kombinasi peternakan dan aktivitas pertanian telah banyak membantu petani seluruh dunia di masa lalu, dengan menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk untuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan ternak. Umumnya kebanyakan dari pupuk kehilangan setengah dari kandungan nitrogennya sebelum menjadi nitrat tersedia bagi tumbuhan. Jumlahnya menjadi tidak cukup jika populasi tanaman meningkat, sehingga pupuk kimia dan makanan buatan harus digunakan, keuntungan petani yang kecil menjadi merosot. Pemaduan perikanan dalam petenakan dan pertanian akan memperbaiki baik persediaan pupuk maupun pakan, dan nilai pasar yang lebih tinggi dari ikan sebagai bahan pangan. Secara teknis, penambahan yang penting dari siklus kedua yang dihasilkan oleh kotoran ikan memberikan keuntungan pada proses yang terintegrasi. Hal ini telah dicatat oleh M.Prein dari ICLARM Malaysia dalam ”Integration of Aquaculture into Crop-Animal Sistems in Asia”.
Peternakan menghasilkan kotoran/sampah setiap hari, yang merupakan sumber daya dapat diperbaharui yang berharga dan akan medukung keberlanjutan aktivitas pertanian di tempat itu, bahkan tanpa masukan eksternal seperti bahan bakar fosil, pupuk kimia dan makanan buatan.
1.2 Tujuan Praktikum
1.      Mengetahui pengertian Integrated Farming system serta manfaatnya.
2.      Mengetahui beberapa keunggulan sistem pertanian terpadu dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kekuatan utama sistem pertanian terletak pada integrasi fungsional dari beragam sumber daya dan teknik pertanian (Reijntjes, et al., 1999). Reintjes et al. (1999) menambahkan bahwa dengan mengintegrasikan beragam fungsi pemanfaatan lahan (misalnya memproduksi bahan pangan, kayu, dan sebagainya; mengkonservasi tanah dan air; melindungi tanaman; mempertahankan kesuburan tanah) serta memanfaatkan beragam komponen biologis (ternak besar dan ternak kecil, tanaman pangan, hijauan makanan ternak, padang rumput alami, pohon, rempah-rempah, pupuk hijau, dan sebagainya), stabilitas dan produktivitas sistem usaha tani sebagai suatu keseluruhan dapat ditingkatkan dan basis sumber daya alam dapat dikonservasi.
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) adalah intensifikasi sistem usahatani melalui pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu dengan komponen ternak sebagai bagian kegiatan usaha. Tujuan pengembangan SITT adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian untuk mewujudkan suksesnya revitalisasi pembangunan pertanian. Komponen usahatani SITT meliputi usaha ternak sapi potong, tanaman pangan (padi & palawija), hortikultura (sayuran), perkebunan, (tebu) dan perikanan (lele, gurami, nila). Limbah ternak (kotoran sapi) diproses menjadi kompos & pupuk organik granuler serta biogas; limbah pertanian (jerami padi, batang & daun jagung, pucuk tebu, jerami kedelai dan kacang tanah) diproses menjadi pakan. Gas-bio dimanfaatkan untuk keperluan memasak, sedangkan limbah biogas (sludge) yang berupa padatan dimanfaatkan menjadi kompos dan bahan campuran pakan sapi & ikan, dan yang berupa cairan dimanfaatkan menjadi pupuk cair untuk tanaman sayuran dan ikan (Khuluq,2012).
Ciri utama integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak (Kuswandi,2007).
Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan keterediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti limbah pelepah sawit, limbah daun dan  limbah pertanian lainnya. Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatkan “ketahanan pakan” khususnya pada musim kemarau, juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak sapi (Diwyanto dan Harianto,2001)
Menurut Najiyati et al. (2005), sistem pertanian terpadu merupakan sistem budi daya dua jenis komoditas pertanian atau lebih dalam satu siklus yang saling berkaitan (gambar 1)
           Gambar 1. Model Sistem Pertanian Terpadu (Najiyati et al., 2005)
  Menurut Supangkat,(2009) Integrasi tanaman ternak merupakan salah satu sistem pertanian terpadu yang memiliki siklus tidak terputus selagi komponen didalamnya tidak hilang. Dengan kata lain semua komponen yang berperan saling berkaitan serta memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup (gambar 2).
Gambar 2. Integrasi Tanaman dan Ternak (Supangkat,2009)
Salikin (2003) menjelaskan bahwa dengan sistem terpadu, terdapat siklus yang tidak terputus dan saling menguntungkan dari subbidang budi daya tanaman, perkebunan, peternakan, dan perikanan untuk jangka waktu yang panjang tanpa kekhawatiran terjadinya pencemaran zat beracun karena semua masukan berasal dari dalam ekosistem sendiri.
Pendapatan menunjukkan besarnya balas jasa yang diterima oleh petani, karena petani berperan dalam pengelolaan, mengerjakan dan menanam modal. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai dengan pengeluaran atau biaya tunai usahatani. Usatani tanaman hortikultura,tanaman pangan dapat menyediakan bahan yang dapat dipergunakan sebagai sumber pakan ,sementara ternak dapat dipergunakan ternak beban ataupundapat menyediakan bahan baku sumber pupuk organic ataupun sebagai sumber energy. Dengan kata lain ternak yang diintegrasikan dengan tanaman mampu memanfaatkan produk ikutan dan produk samping tanaman , sementara ternak dapat menyediakan bahan baku pupuk organic sebagai sumber hara yang sangat dibutuhkan tanaman dan energy bagi kepentingan umat manusia (Dirjen Peternakan,2010).
Revolusi di dunia peternakan ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi ternak tetapi mengurangi seminimal mungkin dampak negative pada lingkungan. Pertanian konvensial telah diketahui banyak menyebabkan penurunan kesuburan tanah karena pemupukan yang intensif khususnya pada daerah marginal. Pada saat yang sama juga diupayakan agar sumber daya alam tetap lestari. Konsep system integrasi tanaman dan ternak memberikan solusi untuk meningkatkan produktivitas ternak dan tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penggunaan bahan. Peningkatan kebutuhan akan lahan dan kenaikan kebutuhan akan produk ternak membuat hal itu menjadi makin penting untuk dapat memastikan penggunaan sumber pakan yang efektif termasuk limbah pertanian. Sistem pertanian terpadu menerapkan seminimal mungkin penggunaan bahan untuk mendapatkan keuntungan yang layak dan tinggi dan level produksi berkelanjutan dengan meminimalkan efek negative pertanian dan menjaga lingkungan (IFAD, 2004).
Sistem peternakan ruminansia yang pada prinsipnya berbasis lahan, sedangkan penggunaan lahan semakin bersaing untuk berbagai keperluan maka kedepan pengembangannya diarahkan pada sistem pertanian terintegrasi (terpadu) antara tanaman pertanian dengan peternakan.Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan factor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran et al, 2005).
Menurut Supangkat (2009) sistem ini akan signifikan dampak positifnya dan memenuhi kriteria pembangunan pertanian berkelanjutan karena berbasis organik dan dikembangkan/diarahkan berbasispotensi lokal (sumberdaya lokal). Tujuan penerapan sistem tersebut yaitu untuk menekan seminimal mungkin input dari luar (input/masukan rendah) sehingga dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas, semaksimal mungkin dapat dihindaridan berkelanjutan.
Petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tamanannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak (Ismail dan Djajanegara, 2004). Keterkaitan tersebut menurut Pasandaran et al.(2005) Merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan cara yang berkelanjutan. Integrasi antara tanaman dan ternak dapat diaplikasikan diwilayah agroekosistem komoditas tanaman pangan (padi dan palawija) dan wilayah agroekosistem tanaman perkebunan diantaranya tanaman kelapa sawit dan tebu.
Sebagaimana halnya di negara-negara Asia Tenggara, konsep pertanian terpadu, yang melibatkan tanaman dan ternak, sebenarnya telah diterapkan oleh petani di Indonesia sejak mereka mengenal pertanian. Pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan sistem usahatani terpadu yang didasarkanrr pada hasil-hasil pengkajian dan penelitian, yang dimulai dengan penelitian “on-station multiple cropping” oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor dengan mengacu pada pola di IRRI (Manwan, 1989). Mulai saat itulah secara bertahap muncul istilah-istilah “pola tanam” (cropping pattern), “pola usahatani” (cropping system) sampai akhirnya muncul istilah “sistem usahatani” (farming systems), dan akhirnya “sistem tanaman-ternak” yang merupakan terjemahan dari crop-livestock system (CLS).
Menurut Devendra (1993) ada delapan keuntungan penerapan CLS, yaitu (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya risiko, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output, dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Penelitian CLS sendiri secara kelembagaan dimulai di Batumarta, Sumatera Selatan pada tahun 1985 ketika International Development Research Center (Canada) memberikan bantuan kepada Puslitbang Tanaman Pangan dan Puslitbang Peternakan untuk melakukan penelitian tanaman dan ternak secara terpadu (Ismail et al., 1989).
Pada dasarnya penelitian CLS yang dilakukan di Batumarta (kemudian dikembangkan ke dua lokasi lain di Lampung dan Bengkulu) adalah sistem usahatani-ternak yang mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan (sustainable) yang ramah lingkungan (environmentally tolerable), secara sosial diterima masyarakat (socially acceptable), secara ekonomi layak (economically feasible) dan diterima secara politis (politically desirable). Hasil penelitan dan pengembangan model di Batumarta menunjukkan bahwa dengan diterapkannya ‘Model Tanaman-Ternak’ selama tiga tahun, kesejahteraan petani lebih meningkat yang ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan menjadi US $ 1,500 per keluarga tani per tahun (Ismail et al., 1990).
Sistem usahatani tanaman-ternak pada dasarnya merupakan respon petani terhadap faktor yang harus dihadapi, mengingat terdapatnya berbagai ketidakpastian dalam berusahatani (Soedjana, 2007). Pada saat persaingan dagang semakin meningkat dan issu pembangunan berkelanjutan menjadi perhatian, sistem pertanian terintegrasi tanaman-ternak perlu dikembangkan karena selain dapat menekan biaya pakan pada usaha ternak namun juga menekan biaya pupuk pada tanaman, serta dapat memperbaiki kualitas lahan yang rusak akibat penggunaan pupuk buatan. Nurhidayati et al.(2008) menyatakan bahwa sistem pertanian yang demikian dikenal dengan sistem pertanian berkelanjutan dengan teknologi input luar rendah (Low External Input Sustainable Agriculture-LEISA).
Di Sulawesi Utara, sapi dipelihara secara terpadu dengan tanaman, yang dikenal dengan sistem integrasi tanaman-ternak  (integrated farming system). Usaha ternak sapi-tanaman dapat memberikan dampak budidaya, sosial, dan ekonomi yang positif. Potensi ketersediaan pakan dari limbah tanaman cukup besar sepanjang tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap pakan dari luar danmenjamin keberlanjutan usaha ternak  (Priyanti 2007).
Prinsip keterpaduan dalam SPT yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Agroekosistem yang berkeanekaragaman tinggi yang memberi jaminan yang lebih tinggi bagi petani secara berkelanjutan; (2) Diperlukan keanekaragaman fungsional yang dapat dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling melengkapi danberhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, dan bukan hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah; (3) Dalam menerapkan pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan sumberdaya manusia, pengetahuan dan teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen, serta masalahkeseimbangan misi pertanian dalam pembangunan; (4) Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang maksimal yang menghasilkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yangmenggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal; (5)Menentukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdayayang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal (Preston,2000).
                            Gambar 3. Model Umum SPT (Preston, 2000)

Keanekaragamanfungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman danhewan yang memiliki sifat saling melengkapi dan berhubungan dalaminteraksi sinergetik dan positif, sehingga bukan hanya kestabilan yang dapatdiperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah (Stern et al, 1959).
Kelebihan sistem ini, antara lain input dari luar minimal ataubahkan tidak diperlukan karena adanya daur limbah di antara organismepenyusunnya, biodiversitas meningkat apalagi dengan penggunaansumberdaya lokal, peningkatan fiksasi nitrogen, resistensi tanaman terhadapjasad pengganggu lebih tinggi dan hasil samping bahan bakar biogas untuk rumah tangga (Preston,2000).
Dikatakan pula bahwa SPT memiliki keuntungan baik aspek ekologi maupun ekonomi. Keuntungan yang dimaksud, yaitu lebih adaptif terhadap perubahan (habitatlebih stabil), ramah lingkungan (UTARA/usaha tani ramah lingkungan), hemat energi (tidak ada energi yang terbuang), keanekaragaman hayati tinggi, lebih resisten, usaha lebih diversifikatif (risiko kegagalan relatif rendah), diversifikasi produk lebih tinggi, produk lebih sehat (minimalisasiresidu senyawa berbahaya), keberlanjutan usaha tani lebih baik, serapan tenaga kerja lebih baik dan sinambung (Supangkat, 2009).
Sistem seperti ini ternyata juga mampu memperbaiki produktivitas padi di lahan petani. Kalau biasanya hanya 5-6 ton/hektar dapat meningkat menjadi 7,6-8 ton/hektar , Produktivitas cabai besar dapat ditingkatkan dari 0,5 kg/tanaman menjadi 0,7 kg/tanaman (Nurcholis et al, 2010).
SPT akan lebih handal apabila komponen penyusunnya merupakansumberdaya lokal sehingga keberlanjutannya lebih terjamin. Misal, komponen tanaman bersumber dari varietas lokal karena varietas ini lebih responsif terhadap lingkungan tumbuhnya sehingga tidak memerlukan masukan energi tinggi dari luar dan lebih tahan atau lebih mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi (fisik, kimia, hayati maupun ekonomi). Sedangkan, benih/bibit hibrida memiliki kelemahan, antara lain tidak mampu beradaptasi secara optimal dengan agroklimat lokal, menurunkan vigor dalam persilangan murni, seringkali benih hasil rekayasa tidak terbebas dari bibit hama dan penyakit dan menciptakan ketergantungan petani terhadap benih buatan pabrik setiap musim tanam (Salikin, 2003).
SPT lebih familiar dengan kultur lokal mengingat sistem ini sebenarnya telah dikembangkan secara konvensional oleh petani Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, penerapan sistem ini secara kultural tidak mengalami hambatan. Secara umum, penerapan SPT berbasis potensi lokal akan mampu menopang keberlanjutan pembangunan pertanian berkelanjutan baik pada tingkat mikro, meso (kabupaten/provinsi) mapun makro (nasional). Dampak positif penerapan sistem ini lebih dominan dibandingkan dampak negatifnya, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan karena sistem ini sejalan dengan konsep conserving while using (Suprodjo,2009).
(Sitorus et.al,1984) menyarankan dilakukan penelaahan potensi wilayah dan kebutuhan ternak ,meliputi rumput – rumputan dan limbah pertanian untuk pakan ternak sebagai sumber tenaga, penghasil pupuk kandang dan sumber pendapatan. Hutabarat (2002) menyatakan bahwa adanya kotoran sapi dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi di samping menjaga kelestarian bahan organik tanah khususnya wilayah perkebunan berlereng serta ternak dapat berperan sebagai industri biologis sekaligus mampu meningkatkan produksi daging dan penyedia kompos.
Pada dekade tahun 1990 –an telah diintensifkan integrasi tanaman padi dan ternak sapi. Dalam hal ini dioptimalkan pemanfaatan pupuk organik berasal dari kotoran sapi biasa mencapai 40 % dari pendapatan (Dwiyanto ,dkk.2001). Bertitik tolak dari hal tersebut sudah banyak program peningkatan pendapatan petani peternak mengacu pada program integrasi tanaman dan ternak dengan melibatkan ternak (Kusnadi et al,2007).
Pada model komplementasi tanaman-ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman, seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacangan dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3% dari total rumput yang dibutuhkan dan Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatkan ketahanan pakan khususnya pada musim kering juga mampu menghemat enaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan skala pemeliharaan ternak (Kariyasa, 2003).
Usaha ternak telah banyak berkembang di Indonesia, akan tetapi petani pada umumnya masih memelihara sebagai usaha sambilan, dimana tujuan utamanya adalah sebagai tabungan, sehingga manajemen pemeliharaannya masih dilakukan secara konvensional. Kendala utama yang dihadapi petani yang belum memadukan usaha tanaman-ternak adalah tidak tersedianya pakan secara memadai terutama pada musim kemarau Konsekuensinya banyak petani yang terpaksa menjual ternaknya walaupun dengan harga relative murah (Sudaratmaja,2004).
Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman pangan Ternak tidak berkompetisi pada lahan yang sama. Tanaman pangan dengan komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan di pinggir atau pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh disekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urin dan fecesnya (Suwono,2004).
Hewan ternak dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik apabila terpenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein nabati dari tanaman. Produktivitas ternak dapat meningkat ketika konsumsi pakan ternak oleh hewan ternak juga meningkat yang diperoleh dari meningkatnya ketersediaan pakan ternak akibat meningkatnya produktivitas tanaman. Peningkatan produktivitas tanaman tidak terlepas dari terpenuhinya konsumsi air dan pupuk (pupuk kandang dan pupuk cair) oleh tanaman yang disediakan alam dan hewan ternak. Dengan demikian, ada hubungan kausalitas antara produktivitas ternak dan produktivitas tanaman.Peran teknik pertanian dalam penyediaan pakan ternah diantaranya adalah desain mesin pencacah (chopper) dan mesin penyampur pakan ternak, sedangkan dalam penyediaan air untuk tanaman diantaranya adalah teknik pemanfaatan air permukaan dan air tanah secara optimum (Ginting,2006).



      BAB III
INTERPRETASI

Pertanian terpadu pada hakekatnya merupakan pertanian yang menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya sehingga aliran nutrisi (unsur hara) dan energi terjadi secara seimbang. Keseimbangan inilah yang akan mnghasilkan produktivitas yang tinggi dan keberlanjutan produksi yang terjaga secara efektif dan efisien. Konsep pertanian masa depan yang disebut sistem pertanian berkelanjutan dengan teknologi input luar rendah (LEISA). LEISA dianggap sistem yang menjanjikan kehidupan yang layak bagi petani, bertolak pada optimalisasi sumberdaya lokal yang ada, dengan pendekatan ”keseimbangan” dan memperhatikan  kesehatan lingkungan. Termasuk dalam LEISA yaitu sistem pertanian terpadu (integrated farming sistem).
Sistem Pertanian Terpadu (SPT) atau Integrated Farming Sistem (IFS) telah merubah dengan cepat peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura, agroindustri dan segala aktivitas pertanian di beberapa negara, khususnya di daerah tropis dan sub-tropis basah (not-arid). SPT dapat mengatasi semua kendala tersebut, tidak saja dari aspek ekonomi dan permasalahan ekologis, tetapi juga menyediakan sarana produksi yang diperlukan seperti bahan bakar, pupuk dan makanan, di samping produktivitas terus meningkat. Hal itu dapat mengubah sistem pertanian yang penuh resiko (terutama di negara-negara miskin) kearah sistem pertanian ekonomis dan kondisi ekologi seimbang.
Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang maksimal mengakibatkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang menggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal. Tantangannya adalah menemukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarahpada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdaya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal. Upaya menemukan perpaduan sumberdaya lahan yang sesuai maka secara alamiah dapat memperbaiki sifat marjinal dari lahan dan dapat meningkatkan produktivitas lahan, serta pada akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.
            Jika dilihat dari awal pengembangannya, konsep pertanian terpadu dimulai dengan sistem pertanian yang melakukan pertanaman kombinasi beberapa jenis tanaman dalam satu lahan yang sama (multiple cropping). Konsep ini yang juga dikenal dengan food feed system, berkembang kemungkinan dari pemikiran bahwa ekosistem di alam tersusun sangat kompleks dan terjadi suatu keseimbangan alam yang berkelanjutan (lestari) karena adanya interaksi dalam ekosistem tersebut. Adanya pembukaan lahan untuk pertanian dan penerapan sistem pertanian monokultur bertentangan dengan konsep kelestarian alam karena ekosistem berubah susunannya menjadi sangat sederhana yang terdiri dari hanya satu jenis tanaman sehingga rentan terhadap ketidakseimbangan seperti menurunnya kualitas lahan/lingkungan, timbulnya hama dan penyakit, dll. Sistem tanam ganda (multiple cropping) mengurangi dampak-dampak negative dari perubahan ekosistem tersebut sekaligus memberi manfaat peningkatan produksi dari tanaman yang ditanam.
            Konsep pertanian terpadu selanjutnya lebih berkembang lagi dengan memasukkan komponen ternak di dalam sistem usahatani tersebut yang dikenal dengan sistem usahatani dan terakhir sistem tanamanternak . Di dalam sistem usahatani, ternak diintegrasikan dengan tanaman pangan untuk mencapai kombinasi yang optimal dimana dengan kombinasi tersebut input produksi menjadi lebih rendah (zero waste/low input) sedangkan produksi didorong menjadi setinggi-tingginya. Prinsip menekan resiko usaha karena adanya diversifikasi usaha dan kelestarian sumberdaya lahan juga menjadi titik perhatian dalam sistem ini.
            Dalam perkembangan selanjutnya, sesungguhnya ternak tidak hanya dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan akan tetapi dapat diintegrasikan dengan tanaman lain seperti tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan. Dengan demikian istilah sistem tanaman-ternak (CLS) lebih cocok dan fleksibel untuk diberikan dalam pola integrasi ini. CLS tidak hanya dipahami terbatas pada sistem integrasi padi (tanaman pangan) dengan ternak saja akan tetapi merupakan sistem integrasi berbagai jenis tanaman pertanian yang memungkinkan dengan berbagai jenis ternak.
Dalam sistem integrasi ini komponen agroekosistem disusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi (komplementari) dan berhubungan dalam interaksi yang bersifat sinergis (positif). Interaksi yang terjadi di dalam sistem integrasi ini mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan.
            Keuntungan penerapan komplementasi tanaman-ternak sangat banyak yaitu diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, mengurangi terjadinya resiko, efisiensi penggunaan tenaga kerja, efisiensi penggunaan komponen produksi, mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar.  
           Sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, meningkatkan output, dan mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Kedelapan kuntungan ini dapat menjadi ciri atau patokan dari penerapan CLS yang berhasil.
Kombinasi peternakan dan aktivitas pertanian telah banyak membantu petani dalam menghasilkan produk pertanian secara organik dengan menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk untuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan ternak. Umumnya kebanyakan dari pupuk kehilangan setengah dari kandungan nitrogennya sebelum menjadi nitrat tersedia bagi tumbuhan. Jumlahnya menjadi tidak cukup jika populasi tanaman meningkat, sehingga pupuk kimia dan makanan buatan harus digunakan, keuntungan petani yang kecil menjadi merosot.
  Pemaduan perikanan dalam petenakan dan pertanian akan memperbaiki baik persediaan pupuk maupun pakan, dan nilai pasar yang lebih tinggi dari ikan sebagai bahan pangan. Secara teknis, penambahan yang penting dari siklus kedua yang dihasilkan oleh kotoran ikan memberikan keuntungan pada proses yang terintegrasi.
            Sistem pertanian terpadu dapat meningkatkan kemampuan para petani dalam memproduksi pupuk organik dan kemudian dapat membudayakan pertanian organik. Pertanian organik akan dapat menghasilkan produk pertanian dengan kualitas tinggi dan higienis yang tidak terkontaminasi dengan bahan kimia yang kurang baik bagi kesehatan. Pengembangan sistem pertanian terpadu saat ini masih lamban dan belum memenuhi kaidah keterpaduan sistemnya. Petani pada umumnya menerapkan sistem ini sifatnya masih parsial atau linear, artinya pengelolaan masing-masing komponen sistem masih terpisah atau sendiri-sendiri, misal ternak saja atau tanaman saja atau ikan saja.
            Penerapan sistem pertanian terpadu perlu dilakukan diseluruh usahatani yang ada di Indonesia, mengingat ketergantungan petani kita terhadap pestisida dan pupuk kimia sangat tinggi. Selain dari usahatani, diharapkan petani dapat mendapatkan penghasilan dari ternak berupa susu ataupun daging sehingga petani tidak perlu khawatir akan ketergantungan terhadap penghasilan usahatani. Selain sebagai pupuk organik, kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai biogas yang bermanfaat sebagai gas rumah tangga. Dengan demikian petani dapat menghemat pengeluaran rumah tangga.
Budaya etos kerja yang tinggi dapat menunjang keberhasilan penerapan usaha terpadu ini. Lingkungan memberikan pengaruh karena dapat mempengaruhi kinerja unit biogas yang dibangun, kondisi lingkungan yang mendukung proses biogas adalah ketersediaan air dan suhu yang ideal untuk proses fermentasi di dalam digester biogas.
Dalam pengelolaan limbah peternakan harus diciptakan suatu sistem yang dapat mengubah karakteristik limbah yang selama ini menjadi beban biaya tanpa hasil menjadi beban biaya yang memberi kontribusi keuntungan. Dengan demikian diperlukan kerja sama antara dinas pertanian dan peternakan dalam membimbing petani untuk menciptakan suatu usahatani dan usahaternak yang saling berkaitan demi mewujudkan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1  Kesimpulan
1.    Integrated Farming System atau yang lebih dikenal sebagai sistem pertanian terpadu sangat cocok digunakan di Indonesia yang mayoritas petaninya bergantung kepada penggunaan pupuk kimia yang tinggi. Penerapan sistem pertanian terpadu khususnya komplementasi tanaman dan ternak diharapkan dapat menekan penggunaan pupuk kimia dan dapat mengurangi biaya produksi serta meningkatkan keuntungan para petani.
2.    Penerapan sistem pertanian terpadu diharapkan dapat mengurangi kerusakan ekosistem sekitar dari bahaya bahan kimia dan dapat mewujudkan suatu usahatani yang ramah lingkungan agar dapat berjalan secara berkesinambungan.



















DAFTAR PUSTAKA

Devendra, C., 1993. Sustainable Animal Production from Small Farm Systems in South East             Asia. FAO Animal Production and Health Paper. FAO Rome.
Dirjen Peternakan ,2010. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapid
                Tanaman .Direktorat Jenderal Peternakan .Kementrian Pertanian, Jakarta.
Diwyanto dan Haryanto.2001. Importance of integration in sustainable farming system.dalam 
                  Diwyanto,Prawiradiputra dan Darwinsyah Lubis. Integrasi tanaman Ternak dalam
                  Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing Berkelanjutan Dan Berkerakyatan
                WARTAZOA, 12 (1) : 1-7
Ginting, E.H. 2006. Perancangan Fasilitas Biogas Kandang Terpencar Kelompok Ternak
                 Tani Pandan Mulyo Dukuh Ngentak.
Skripsi. Jurusan Teknik Fisika, Fakultas
                Teknik,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Hutabarat,T.S.P.N. 2002. Pendekatan Kawasan dalam Pembangunan Peternakan. Direktorat
                Jenderal Bina Produksi Peternakan ,Departemen Pertanian.Jakarta.1-13
IFAD, 2004. Integrated Crop-Livestock Farming Systems.Penerbit Swadaya: Jakarta
Ismail, I. A. Djajanegara dan H. Supriadi. 1989. Farming Systems Research in Upland   
         Transmigration Areas : Case in Batumarta. In: Sukmana et al. (eds). Development  
         in Procedures for Farming Systems Research: Proceeding of an International
        Workshop. Agency for Agricultural Research and Development. Indonesia.
Ismail, I., H. Supriadi, B. Prawiradiputra, U. Kusnadi, A. Djauhari dan Y. Supriyatna 1990.               Model usahatani tanaman-ternak untuk meningkatkan pendapatan petani
                 transmigrasi            lahan kering. Dalam: SYAM et al. (eds). Sistem Usahatani di
                 Lima Agro-ekosistem.        Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usahatani. Pusat
                 Penelitian dan Pengembangan       Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan
                 Pengembangan Pertanian.
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan
                 Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Pusat Penelitian dan
                   Pengembangan Sosial Ekonomi Pertananian. Bogor. www.puslit-bogor.go.id.
                 (Akses 10 November 2015).
Khuluq.A.D.2012.Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu Sebagai Pakan Fermentasi
                 Probiotik.Buletin Tanaman Tembakau,Serat dan Minyak Industri,4(1):37-45
Kusnadi,U. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak
                    (SITT)Untuk Menunjang Swasembada Daging Tahun 2010. Orasi pengukuhan
                  professor riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kuswandi.2007.Teknologi Pakan Untuk Limbah Tebu (fraksi Serat) sebagai Pakan Ternak
                Ruminansia. Wartazoa 17(2): 82-92
Manwan, I. ,1989. Farming systems research in Indonesia: its evolution and future outlook.                  In: Sukmana et al. (eds). Development in Procedures for farming Systems
                     Research:            Proceeding of an International Workshop. Agency for
                    Agricultural research and Development. Indonesia.

Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
                     Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan – Proyek Climate Change, Forest and
                     Peatlands on Indonesia. Weatlands International – Indonesia Programme and
                     Wildlife Habitat Canada. Bogor
Nurcholis, M., G. Supangkat dan D. Haryanto. 2010. Pengembangan Sistem Pertanian     
                   Terpadu untuk mendukung mendukung kemandirian Desa Banjararum,
                   Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Laporan Pengabdian
                   Masyarakat Iptek bagi     Wilayah (IbW) DP2M Ditjen Dikti Depdiknas tahun
                   2010.
Nurhidayati, I. Pujiwati, A. Solichah, Djuharu, dan A. Basit. 2008. Pertanian organik: Suatu                 Kajian Sistem Pertanian Terpadu Berkelanjutan. Program Studi
                   Agroekoteknologi,           Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian.
                   Malang: UIM.
Pasandaran E., Djajanegara A., Kariyasa K., dan Kasryno F. 2005. Kerangka Konseptual 
                      Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta:  
                    Departemen Pertanian.
Preston, T.R. 2000. Livestock Production from Local Resources in an Integrated Farming
                      System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small Scale Farmers and
                    theEnvironment. Workshop-seminar "Making better use of local feed
                    resources"SAREC-UAF, January , 2000.
Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak terhadap Alokasi   
                    Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran       Rumah Tangga Petani. Disertasi.
                    Bogor:     Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Reijntjes, C., B. Haverkort, dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar
                     untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah
(terjemahan). 
                     Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Salikin, K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Sitorus,P.U.Kusnadi dan T.Manurung.1984. Strategi Penelitian Usahatani Pola Peternakan di
                     Daerah Transmigrasi. Proceeding Pertemuan Teknis Pola Usahatani 
                     Menunjang Transmigrasi. Cisarua
Soedjana. 2007. Sistem Usaha Tani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respon Petani     
                       Terhadap Faktor Resiko dalam Prawiradiputra., Masih Adakah Peluang      
                        Pengembangan Integrasi Tanaman-Ternak Dengan Ternak di Indonesia.     
                     WARTAZOA. 19 (3): 143-149
Stern, V.M., R.F. Smith., R. van der Bosh, dan K.S. Hagen. 1959. The Integrated Control
                     Concept.
Hilgardia 29 (2) : 81-101.
Sudaratmaja, N. Suyasa. 2004. Subak dalam Perspektif Sistem Integrasi Padi-Ternak di Bali.
                       Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak.                       
                     Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
www.balitbang.go.id. ( Akses 10
                     November 2015).
Supangkat, G. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan  Pengembangannya.    
                        Workshop Pengembangan Sistem Pertanian   Terpadu. Dinas Pertanian Provinsi                  Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 Desember 2009.
Suprodjo, S.W. 2009. Konservasi Ekosistem. Disampaikan pada Kuliah Perdana Program
                       Studi Ilmu Lingkungan tanggal 21 Desember 2009, Fakultas Geografi UGM,
                     Yogyakarta.
Suwono, M. F. Kasiyadi. 2004. Penggunaan Pupuk Organik dalam Sistem Integrasi Tanaman-
                    Ternak di Jawa Timur. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan  
                    Usahatani | Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
                     
www.balitbang.go.id (Akses 10 November 2015).

1 komentar:

  1. bang izin copy boleh ? banyak sekali materi yang saya butuhkan untuk tugas, hasil karya abang luar biasa berguna untuk saya dan masa depan saya :')

    BalasHapus