Blogger Widgets
Powered By Blogger

Sabtu, 20 Februari 2016

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN PADI DI KELURAHAN KEMUMU


MAKALAH PERTANIAN LESTARI
TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN PADI DI KELURAHAN KEMUMU
DISUSUN Oleh :
NAMA  :   1. ernawati simanjuntak   E1J012041
                            2. Sri devi girsang                          E1J012146
                            3. NICO DWI ARDIYANSAH               E1J013079
                            4. AYU LESTARI                                   E1J013074
                            5. dewi septi yani                  E1J013081
                            6. Hendrik kurniawan                 E1J013041
                            7. NOTOMIN WANIMBO           E1J012188
SHIFT    :  SUB SHFT 1
dosen  :  Ir.Hermansyah,M.P
COASS   : Phrilly Monica panjaitan
  LABORATORIUM AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian didalam menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk. Pembangunan pertanian perlu mendapat perhatian yang lebih baik, sekalipun prioritas pada kebijaksanaan industrialisasi sudah dijatuhkan, namun sektor pertanian dapat memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus. Hal ini terjadi bila produktifitas diperbesar sehingga menghasillkan pendapatan petani yang lebih tinggi dan memungkinkan untuk menabung dan mengakumulasikan modal. Peningkatan taraf hidup tersebut diperoleh petani dengan cara meningkatkan pendapatanya.
Untuk memperoleh pendapatan yang tinggi mereka melaksanakan berbagai kegiatan dengan mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain (diversifikasi usahatani) yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan pertanianya memungkinkan. Pengembangan pendapatan diluar usahatani (off farm income) juga akan sangat membantu peningkatan kesejahtraan karena terbatasnya potensi usahatani, berbagai penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan sektor pertanian akan mampu menurunkan angka kemiskinan petani (Sudarman, 2001).
Sektor pertanian merupakan pengerak utama pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu. Share Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian atas dasar harga berlaku dalam 10 tahun terakhir mencapai 33%, tahun 2002 sebesar Rp 2,02 triliun dan tahun 2011 naik menjadi Rp 5,95 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39% per tahun. Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp 3,71 triliun (62,38%) dikuti subsektor sebesar Rp 1,58 triliun (26,60%), dan subsektor peternakan sebesar Rp 0,65 triliun (11,02%) (BPS 2011).
            Data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (2010) menginformasikan bahwa ditinjau dari luas panen dan jumlah produksi, Kabupaten Bengkulu Utara dapat dikatakan sebagai sentra produksi padi. Luas panen padi di Kabupaten ini mencapai 21.620 ha at au 16,26% dari total luas panen padi Provinsi Bengkulu dengan produksi sebesar 83.064 ton atau 16,28% total produksi provinsi. Salah satu wilayah sentra produksi padi di Kabupaten Bengkulu Utara adalah Kecamatan Argamakmur, khususnya diSalah satu komoditas pertanian yang diharapkan dapat bergerak positif dalam hal peningkatan produksi dan pendapatannya adalah padi. Kerberlanjutan produksi padi sangat penting untuk dijaga mengingat perannya sebagai bahan pangan pokok, juga merupakan komoditas strategis dalam menjaga ketahanan pangan. Kelurahan Kemumu, Desa ini memiliki jumlah populasi petani padi terbanyak yang mencapai 386 orang yang terbagi dalam 12 kelompok tani dengan luas lahan 368 Ha.
Permasalahan yang paling sering dihadapi petani pada kegiatan usahatani padi terkait dengan penggunaan sarana produksi usahatani (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan lainnya) adalah kemampuan petani untuk membeli sarana produksi tersebut karena rendahnya akumulasi modal usahatani yang dimiliki. Petani sering kali penggunaan input tidak optimal sehingga pemeliharaan dalam aktivitas usahatani tidak memadai. Padahal penggunaan input atau faktor produksi seperti bibit, pupuk urea, pupuk phonska, pelangi, pupuk organik, pestisida dan tenaga kerja secara tepat dan efisien akan memberikan keuntungan kepada petani.  Peningkatan produksi padi hanya dapat dilakukan dengan pengelolaan usahatani yang baik dengan dukungan teknologi serta jaminan ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.
Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.
 Pemerintah memiliki peran vital untuk memajukan sumberdaya petani agar kesejahteraan petani semakin meningkat. Pemerintah dapat meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit yang memiliki sertifikat standar nasional, pupuk dan obat-obatan yang memadai. Menurut Sajad (1997), salah satu usaha dalam meningkatkan produksi padi sangat bergantung pada mutu benih padi. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan sarana produksi dengan mutu yang baik guna meningkatkan produksi pertanian.
Dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan petani perlu memanfaatkan faktor produksi secara efektif dan efisien untuk produksi usahataninya. Efisiensi produksi hendaknya penting diperhatikan oleh petani. Upaya-upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui jalur ekstensifikasi tampaknya semakin sulit, terbatasnya lahan pertanian produktif dan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang sulit dibendung karena berbagai alasan. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan melalui efisiensi produksi menjadi salah satu pilihan yang tepat. Dengan efisiensi, petani dapat menggunakan input produksi sesuai dengan ketentuan untuk mendapat produksi yang optimal.
Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian (padi) telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa masih terjadi perbedaan yang tinggi antara potensial produksi padi berbeda dengan hasil yang diperoleh petani. Perbedaan hasil umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi yaitu kondisi keterbatasan petani untuk menggunakan inovasi teknologi budidaya, seperti pengetahuan, akses terhadap sumber modal, pemasaran, prasarana transportasi, irigasi. Sedangkan faktor teknis ketersediaan air irigasi, kondisi kesuburan lahan, hama dan penyakit tanaman. Faktor-faktor ini akan menjadi pertimbangan bagi petani dalam mengalokasikan input seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, dan obat-obatan.
Usahatani padi sawah tidak hanya sebagai penghasil bahan makanan tetapi juga mempunyai nilai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan dari kegiatan usahatani antara lain penyedia lapangan kerja dan penyangga ketahanan pangan (Irawan at al. 2006). Oleh karenanya perlu pengelolaan yang tepat dengan menggunakan faktor produksi secara efisien guna meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan produksi. Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dalam usahatani padi sawah akan mengakibatkan rendahnya produksi dan tingginya biaya, dan pada akhirnya mengurangi pendapatan petani. Bagi petani kegiatan usahatani yang dilakukan tidak hanya meningkatkan produksi tetapi bagaimana menaikkan pendapatan melalui pemanfaatan penggunaan faktor produksi.
Pengelolaan input produksi harus mempertimbangkan prinsip optimalisasi guna pencapaian produksi yang tinggi dengan alokasi input yang efisien dan efektif. Menurut Soekartawi (2001), efisien ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (efisiensi harga), dan efisiensi ekonomi. Petani sebagai entrepreneur akan bertindak secara rasional dan logis dalam pengelolaan usahataninya. Sumberdaya yang terbatas akan dimanfaatkan oleh petani secara efisien guna memperoleh keuntungan yang maksimum. Akan tetapi karena keterbatasan ekonomi, pengetahuan usahatani maka tingkat penggunaan sumberdaya secara optimal belum tercapai.

1.2 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui teknik budidaya tanaman padi yang dilakukan petani di Desa Sidodai Kelurahan Kemumu.
2. Mengevaluasi dan membandingkan teknik budidaya padi sawah yang dilakukan petani dengan prinsip pertanian lestari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Penerapan Metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ. Pada tahun 1987, untuk pertama kalinya metode SRI diterapkan di Indonesia. Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksinormalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha,beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanyasaja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukandiperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padidikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya (Santosa, 2005).
Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah.
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik darimusim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untukdapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanamtiba.Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnyabahan organik dan kesehatan tanah
(Mutakin, 2005).

2.2    Pengolahan Tanah
Teknologi pengolahan tanah mempunyai tujuan ganda, baik dalam penyiapan lahan dan pengelolaan air maupun pengendalian gulma. Pada era prarevolusi hijau, penyiapan lahan untuk budi daya padi sawah hanya diawali dengan pengolahan tanah sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah, hanya dengan menebas gulma dan kemudian membakarnya (Lamid, 1993)
            Pada era revolusi hijau yang diiringi oleh kemajuan peradaban zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pengolahan tanah secara sederhana ditinggalkan petani dan diganti dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan). OTS menjadi salah satu komponen teknologi anjuran dalam program intensifikasi padi sawah (Bimas, Inmas,Insus, dan Supra Insus) yang mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan teknologi OTS awalnya berdampak positif terhadap efisiensi usaha tani padi karena menghemat biaya dan tenaga kerja untuk pengendalian gulma, memfasilitasi penerapan komponen teknologi lain, dan meningkatkan produktivitas (Kasryno 1983; Ananto 1989). Namun, di balik keberhasilan itu, revolusi hijau meninggalkan beberapa masalah, antara lain tanah menjadi sakit (soil sickness) (Utomo 1995). Pelumpuran tanah secara terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan anorganik pada takaran tinggi diduga menjadi salah satu penyebab perubahan fisika kimia tanah pada zona perakaran tanaman, yang berdampak terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
            Perubahan iklim berdampak pula terhadap perubahan fisik tanah dan penurunan produktivitas tanaman yang pada gilirannya akan menurunkan produksi  Padi sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan terhadap perubahan iklim dan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di bidang pertanian (Las et al., 2008; Badan Litbang Pertanian 2010).
Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah satu teknologi yang prospektif dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS dan menurunkan GRK dalam pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010). TOT dikenal sebagai teknologi olah tanah konservasi (OTK) (conservation tillage) dan makin populer di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata, memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas tanam dan pendapatan (Simanungkalit, 2006). Selain itu, teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida nonselektif purnatumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak (Bangun 1995; Utomo 1995).
Olah Tanah Sempurna (OTS) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap program intensifikasi padi sawah. Swasembada beras yang diraih pada tahun 1984 tentu tidak dapat dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan tulang punggung pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program intensifikasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah, seperti degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah pertanian (residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta timbulnya biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hsieh, 1990).
Proses OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah sampai jenuh bahkan kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh pembajakan dua kali dan penggaruan untuk pelumpuran lahan, memerlukan waktu relatif lama sebelum padi ditanam. Tujuan utama OTS adalah mengendalikan gulma pada stadia awal pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi tanah, mencampur sisa gulma dan tanaman dengan tanah, membantu pembentukan tapak bajak, menyeragamkan tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor (P), dan memudahkan tanam (Taslim et al., 1989).
Pada budi daya padi sawah, masing-masing 30% dari total kebutuhan air, total tenaga kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan lahan sehingga indeks pertanaman maksimum hanya 200-250/tahun (Ananto dan Fagi 1993). Pembajakan atau pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan organik, dan hara tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur besi (Fe) dan sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran (oksidasi) sehingga meracuni akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma (Mercado et.al, 1979).
Penerapan OTS dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul memberikan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih baik, tetapi indeks pertanaman lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan mesin pengolah tanah (hand tractor) karena memerlukan waktu yang lebih panjang (De Datta 1981). Dengan menggunakan bajak traktor, proses tanam dapat dipercepat sehingga indeks pertanaman meningkat. Namun, hasil padi lebih rendah karena adanya senyawa beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh proses pelapukan bahan organik (gulma dan singgang). Senyawa ini mengganggu pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.

2.3    Pengelolaan Irigasi dan Drainase
Pemberian air pada padi sawah dalam jaringan irigasi, terdapat 3 sistem, yaitu : sistem irigasi terus menerus, sistem irigasi rotasi, dan sistem irigasi berselang. Kebanyakan jaringan irigasi yang ada di Indonesia, menerapkan sistem irigasi terus menerus (continous flow).
Dalam penelitiannya di madura, Krishnasamy et al. (2003) menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi genangan air dilahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi (varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produktivitasnya relatif lebih tinggi dibanding sistem irigasi terus menerus dan irigasi bergilir (Krishnasamy et al. 2003).
Dengan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dann berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Lebih jauh Krishnasamy et al.(2003) melaporkan bahwa produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibandingkan pada sistem penggenangan terus menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%).

2.4    Pemupukan
Pemupukan adalah cara yang digunakan untuk memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Pupuk sendiri dibagi menjadi dua yatiu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik merupakan pupuk hasil dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Contohnya yaitu pupuk kandang, pupuk kompos, pupuk hijau, pupuk kascing. Pupuk anorganik adalah pupuk buatan pabrik berupa bahan kimia yang riramu sedikian rupa sehingga menghasilkan pupuk yang dapat digunakan untuk tanaman, seperti pupuk urea, SP-36, dan KCl (Hadi,2005).
Havlin et al. (2005) menyatakan bahwa unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi ada 16 unsur hara essensial yaitu unsur hara makro dan mikro. Tetapi, unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak yaitu N, P dan K ditambah unsur hara makro lain dan unsur hara mikro yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin, 2003). Menurut Hadi (2005) pupuk adalah bahan yang memberikan zat hara bagi tanaman. Pupuk yang dikenal saat ini ada dua yaitu pupuk organik seperti pupuk hayati, kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan lain-lain, dan pupuk anorganik seperti urea, SP-36, TSP dan lain-lain.

2.4.1 Pupuk Organik
Pupuk Organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta,2006). Menurut Simanungkalit dan Suriadikarta (2006), definisi tersebut menunjukan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C- organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Menurut Prihmantoro (1999) keunggulan pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik yaitu memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sumber makanan bagi tanaman.
Dobermann and Fairhurst (2002). Tisdale et al. (1993) menyebutkan delapan fungsi bahan organik dalam tanah, yaitu: (1) sebagai pemasok dan cadangan hara makro dan mikro bagi tanaman, (2) memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), (3) menyediakan energi bagi mikroorganisme tanah; (4) meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah, (5) memperbaiki struktur dan pelumpuran tanah, (6) mencegah pengerasan tanah dan meningkatkan kapasitas infiltrasi air, (7) sebagai perekat partikel tanah, dan (8) sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan cepat reaksi tanah. Multifungsi tersebut bersifat interaktif dan sinergis, yang berdampak positif terhadap kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah. (Uphoff , 2006).
Hasil penelitian Raochmah (2010) menunjukkan bahwa pengaruh yang sama antara perlakuan pemupukan urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen yang berasal dari azola pada tanaman padi. Hasil penelitian lain yaitu Rohcmah dan Sugiyanta (2010) menunjukkan bahwa kombinasi pupuk organik dan anorganik  pada tanaman padi yaitu pupuk organik 10 ton/Ha dan pupuk anorganik (200 kg urea/ha + 100 kg SP-36/ha + 100 kg KCl/ha) mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya menggunkan pupuk anorganik. Hadi (2005) menyarankan agar memanfaatkan abu sekam sebagai alternative pupuk organik sumber kalium pada budidaya tanaman padi sawah.
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, berangkasan, bongkol jagujng, bagas tebu dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).
Pupuk hayati adalah salah satu dari pupuk organik. Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Menurut Vessey (2003) pupuk hayati adalah substansi yang mengandung mikroorganisme hidup yang jika diaplikasikan kepada benih, permukaan tanaman atau tanah dapat memacu pertumbuhan tanaman. Permentan (2009) pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah.

2.5  Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan.
Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian. Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama berikutnya yang dapat mencapai Aras LukaEkonomi, ALE (Economic Injury Level). Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan akibat hama sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan, sehingga tidak terjadi kerugian.
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim, et.al., 2003).
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa merusak tanaman padi adalah
tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, dan hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi masalah (Hendarsih, et. al., 1999). Sedangkan pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi terutama adalah tikus, penggerek batang dan walang sangit.
Berbagai jenis serangga hama menyerang tanaman padi dari mulai benih sampai siap panen, dan masing-masing serangga hama tersebut mempunyai musuh alami di alam. Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi yang dirangkum dari Suharto (2007). Tabel 1. Jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi sawah dan kerusakan yang ditimbulkan.

No
Nama Ilmiah
Nama Daerah
Familia
Kerusakan yang ditimbulkan
1
Leucopholis rorida dan Heteronychus spp.
Hama uret
Scarabidae
Larva memakan akar, dewasa (kumbang) memakan daun padi
2
Antherigona oryzae Malloch dan A.exigua Stein
Lalat bibit padi
Muscidae
Menyerang titik tumbuh bibit padi
3
Nymphula depunctalis
Hama putih
Pyralidae
Menyerang daun
4
Orselia oryzae Wood-Mason
Hama Ganjur
Cecidomyii-dae
Larva memakan titik tumbuh daun
5
Cnaphalocroccis medinalis Guenne
Ulat penggu-lung daun/
Hama putih palsu
Pyralidae
Larva menggulung dan memakan daun
6
Scirpophaga innotata
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
7
Scirpophaga incertulas
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
8
Chilo supressalis
Pengge-rek batang padi
Pyralidae
Menggerek batang dan memakan bagian dalam batang
9
Sesamea inferens
Pengge-rek batang padi
Noctuidae
Larva menggerek batang dan memakan pelepah daun
10
Scotinophora coartata
Kepin-ding tanah
Pentatomidae
Nimfa dan serangga dewasa menghisap cairan tanaman
11
Nilaparvata lugens Stal
Wereng batang coklat
Delphacidae
Nimfa dan dewasa menghisap cairan batang
12
Sogatella furcifera Jorv.
Wereng batang pung-gung putih
Delphacidae
Menghisap cairan tanaman pada awal tanam
13
Nephotettix spp.
Wereng daun
hijau
Cicadellidae
Menghisap cairan daun dan vektor penyakit beberapa penyakit
14
Recilia dorsalis Motch
Wereng daun zigzag/ loreng
Cicadellidae
Menghisap cairan daun
15
Leptocorissa acuta Thunb.
Walang sangit
Coreidae
Nimfa dan serangga dewasa menghisap bulir padi








 Sumber : Dirangkum dari Suharto,2007

Kemampuan musuh-musuh alami sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99% serangga agar tetap berada pada jumlah yang tidak merugikan, sehingga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami sebagai pengendali ledakan populasi serangga (Marwoto, et al., 1991). Tabel 2 menyajikan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan serangga hama tanaman padi.

Tabel 2. Pemanfaatan Serangga Predator dan Parasitoid untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Padi
No
Nama Ilmiah
Familia
Status
Inang/mangsa
Kemam-puan merusak/
Mempa-rasit
1
Anagrus sp.
Mymaridae
Parasitoid
Telur wereng batang coklat dan wereng hijau
38%
2
Gonatocerus sp.
Mymaridae
Parasitoid
Telur wereng batang dan wereng daun
Wereng batang coklat 1,16-6,04%, wereng hijau 34,08%, wereng punggung putih 7,05%
3
Oligosita sp.
Tricho-gramma-tidae
Parasitoid
Telur wereng batang dan wereng daun
10,5-37%
4
Paederus sp.
Coccinelli-dae
Predator
Wereng batang coklat
Kombinasi dari 2 Paederus sp. +1 Ophionea sp. Mampu memangsa 7 wereng per hari
5
Ophionea sp.
Carabidae
Predator
Wereng batang coklat
Memangsa wereng batang coklat 2,73/hari
6
Coccinella sp.
Coccinelli-dae
Predator
Wereng
Belum ada data
7
Cyrtorhinus lividipennis
Miridae
Predator
Berbagai jenis wereng
Memangsa 4,1 telur wereng per hari
8
Verania lineata Thumb.
Coccinelli-dae
Predator
Wereng batang dan wereng daun
Memangsa 2,83 wereng batang coklat per hari
Sumber : Dirangkum dari I Wayan Laba, 2001

Barbosa (1998) menegaskan bahwa diperlukan pengetahuan tentang biologi, perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami dalam menerapkan strategi konservasi musuh alami. Untuk mengembangkan konservasi dan peningkatan musuh alami yang efektif diperlukan pemahaman yang holistik tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi musuh alami dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan hama. Dengan kata lain faktor pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami harus bisa diidentifikasi sehingga bisa dilakukan manipulasi untuk meningkatkan populasi musuh alami atau memfasilitasi interaksi antara musuh alami dan hama atau gulma.

2.6  Panen Dan Pasca Panen
Mejio (2008) menjelaskan, pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemanenan, pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen bertujuan untuk menekan kehilangan hasil, meningkatkan kualitas, daya simpan, daya guna komoditas pertanian, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan pascapanen padi meliputi (1) pemanenan, (2) perontokan, (3) perawatan atau pengeringan, (4) pengangkutan, (5) penggilingan, (6) penyimpanan, (7) standardisasi mutu, (8) pengolahan, dan (9) penanganan limbah.
Masalah utama dalam pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil karena tercecer atau tidak terontok, terbuang bersama jerami, rusak dan rendahnya mutu gabah dan beras. Tingkat kehilangan hasil padi selama penanganan pascapanen mencapai 20-21%, yang terbesar terjadi pada pemanenan, yaitu sektar 9% dan pada perontokan sekitar 5% (Ananto et.al , 2003). Disamping untuk menekan kehilangan hasil, faktor efisiensi pelaksanaan kegiatan di lapangan menjadi faktor utama dalam pemilihan jenis, sistem dan alat yang dapat mendukung kegiatan pasca panen padi tersebut. Salah satu tahapan kegiatan penanganan pasca panen padi yaitu perontokan padi.
Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu, penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural Practices (GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) (Setyono et al. 2008a). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al. 2006b).
Pada awal kegiatan perontokan padi, petani merontok dengan cara menginjak-injak (iles) padi, membanting (gebot) dan memukul. Bahkan ada petani yang menggunakan sepeda motor dengan menjalankannya diatas hamparan padi yang akan dirontok. Menurut Ananto et.al (2003), cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas kerja yang sangat rendah, yaitu hanya 25-30 kg/jam. Seiring dengan perkembangan teknologi, proses perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi menjadi tiga kategori yaitu secara manual dengan menggunakan alat gebot, pedal threser serta mesin power threser. Upah perontokan biasanya tidak terpisah dari biaya panen secara keseluruhan terutama pada kegiatan panen yang menggunakan alat gebot atau pedal threser, dimana penderep sekaligus sebagai perontokan sudah tercakup didalam upah bawon yang besarnya antara 10-23%.
Perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan membantingkan segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu atau besi. Dalam proses perontokan dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan mengenai penggunaan alas terpal untuk menghindari banyaknya gabah yang tercecer akibat ayunan serta terpaan angin pada saat perontokan. Menurut Suismono (2006), untuk menghindari adanya kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih dialasi plastic atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke tempat perontokan yang telah dialasi plastic terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang dilengkapi dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau memukulkan genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali. Pembersihan sisa gabah yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat menggunakan karung plastic yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak tercecer.


 

















        BAB III
 INTERPRETASI
Survei lapangan dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara, Kelurahan Kemumu Desa Sidodadi. Narasumber yang kami wawancarai yaitu pak Sulam berusia 64 tahun yang menjadikan petani tanaman pangan dan peternakan sebagai pekerjaan utama serta selaku ketua kelompok tani yang mambagikan informasi mengenai sistem usaha tani yang ada pada daerah tersebut.
            Dari informasi yang diberikan serta survey langsung kelapangan dapat di ketahui bahwa pada desa tersebut sudah memulai sistem pertanian terpadu tanaman pangan, hortikultura dan ternak. Tanaman pangan yang dibudidayakan yaitu padi dan jagung, untuk tanaman hortikultura yaitu tomat dan lainya. Hewan utama yang diternakkan yaitu sapi dan hewan sampingan yang diternakkan yaitu ayam dan entok. Sapi yang menjadi hewan ternak utama berjumlah 35 ekor terdiri dari 32 ekor sapi betina dan 3 ekor sapi jantan. Sistem pemeliharaannya yaitu di serahkan ke anggota kelompok tani 1 orang 2 ekor sapi.
            Kotoran hewan yang diternakkan sebagian di gunakan sebagai pupuk kandang dan sebagian lagi di komposkan. Kotoran sapi yang dihasilkan mencapai 1 ton per hari, sehingga tempat untuk menampungnya tidak cukup. Untuk pengelolaan kompos sudah dilakukan oleh petani setempat akan tetapi karena proses pengomposan dilakukan diruangan yang dilakukan dengan proses manual maka pengolahan kompos berlangsung lama. Pupuk kandang dan kompos yang dihasilkan kegunaannya masih belum banyak diketahui oleh petani setempat sehingga hanya beberapa daerah saja yang menggunakan pupuk kandang dan kompas selebihnya pupuk kandang yang dihasilkan masih banyak yang dibiarkan begitu saja dan jika hasil pupuk kandang akan di terapkan ke lapangan maka pupuk kandang dan kompos  masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik sistem pertanian terpadu yang diterapkan salah satu kelompok tani tersebut.
Tidak hanya kompos dan pupuk kandang saja yang dapat digunakan untuk tambahan unsur hara, tetapi juga urin yang dihasilkan dari ternak bisa di gunakan untuk tambahan unsur hara, hanya saja karena tempat dan fasilitas yang belum memadai maka urin ternak tersebut belum dimanfaatkan dan terbuang saja. Kompos yang dihasilkan sudah mencapai 1 ton dan dijual dengan harga 15 ribu per 45 kg.
             Kotoran sapi yang ada juga dimanfaakan petani setempat untuk menjadi biogas. Biogas ini digunakan untuk menghemat penggunaan listrik dan dapat juga di gunakan untuk memasak.  Biogas di masukkan ke dalam tabung gas atau sejenis plastik yang diatasnya di beri pemberat seperti karung berisi pasir sebagai pemberat. Biogas ini bisa tahan antara 2-3 hari.
            Kelompok tani di desa sidodadi yang diketuai pak Sulam menggarap sawah sekitar 25 Ha yang sudah menggunakan irigasi teknis sebagai sumber airnya. Jika dijumlahkan dengan kebun hortikultura yang ada maka total luas lahan yang di olah di desa tersebut mencapai 40 Ha. Untuk pengolahan lahan tersebut diserahkan kepada petani pemilik dan petani penggarap yang per 1 hektarnya di kelola oleh 1 atau 2 orang.
            Jenis padi yang di budidayakan oleh petani desa sidodadi adalah jenis padi unggul seperti mekongga dan cigelis. Menggunakan varietas padi yang unggul memberikan beberapa keuntungan, diantaranya :
1. Benih tumbuh cepat dan serempak.
2. Jika disemaikan akan menghasilkan bibit yang kuat dan sehat.
3. Pada saat ditanam pindah, bibit tumbuh lebih cepat dan seragam.
4. Jumlah anakan optimum, sehingga akan memberikan hasil yang tinggi.
Waktu tanam padi seharusnya dilakukan pada akhir bulan oktober tetapi molor karena musim yang sulit di prediksi.          Lahan yang ada di desa sidodadi berupa lahan berbukit sehingga dilakukan tindakan konservasi lahan berupa terasering. Teras yang digunakan di sawah tersebut yaitu teras bangku. Ukuran terasering di lahan sawah cukup bermacam-macam sesuai dari luas lahan mulai dari kecil hingga memanjang, jika lahannya datar maka teraseringnya per 1 hektar di buat hanya 2 petak saja.
            Pengolahan tanah untuk penanaman padi di Desa Sidodadi sudah menggunakan traktor dan garu bajak. Alat untuk penanaman masih manual yaitu menggunakan caplak. Alat yang modern sudah ada namun untuk penggunaannya belum direalisasiakan. Proses penanaman bisa langsung dilakukan tanpa adanya pemupukan terlebih dahulu atau bisa juga dilakukan setelah lahan di pupuk. Hal ini  dilakukan sesuai kondisi lahan. Jumlah benih yang disemai dan di tanam ke lahan yang sudah di siapkan sebanyak 20 kg per Ha dan benih yang telah di semai akan ditanam dengan sistem legowo 1 : 1.
            Pemupukan bisa dilakukan pada satu hari sebelum lahan ditanami  yaitu diberi pupuk SP36 30 %, kemudian diberikan pupuk urea setelah 7 hari. Padi yang disemai di pindahkan ke lahan lalu setelah 2 minggu di berikan pupuk ke dua. Jumlah total 3 jenis pupuk yang di berikan yaitu pupuk SP36, Phonska, dan Urea yaitu ½ ton per musim tanam dan juga di tambah zat pengatur tumbuh.
Hama dan penyakit yang sering di temui oleh petani yaitu ulat grayak, ulat putih, penyakit patah leher dan penyakit yang disebabkan oleh cendawan atau jamur. Ciri-ciri penyakit patah leher yaitu ada titik hitam di tangkai sebelum keluar malai lalu tangkai nya patah sehingga tidak terjadi pembentukan malai.
            Untuk mengatasi hama dan penyakit petani masih menggunakan pestisida akan tetapi penggunaan pestisida ini tidak dilakukan asal-asalan oleh petani. Petani menggunakan pestisida sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang tanamannya namun petani memilih pestisida bukan karena bahan aktif yang ada pada pestisida tersebut melainkan karena harganya. Meskipun petani tau jenis-jenis bahan aktif yang baik digunakan dan yang terkandung pada pestisida tersebut jika harganya mahal maka petani akan beralih ke jenis pestisida yang lebih murah. Meskipun nantinya mngakibatkan petani mengaplikasikan pestisida tersebut beruang kali hingga hama/penyakit yang menyerang berkurang ataupun mati.
            Pengendalian hama dengan cara pergiliran tanaman untuk mengembalikan unsur hara dan memutus rantai serangan hama sudah ada programnya dari pemerintah, akan tetapi ada banyak kendala untuk pelaksanaan dilapangan, banyak petani yang tidak mau melakukan pergiliran tanaman karena tidak mau ambil resiko ketika harga jual jatuh dan tidak ada masyarakat yang mau membeli yang menyebabkan petani merugi.
            Waktu panen padi di Desa Sidodadi berbeda-beda tergantung varietas yang ditanam. Jenis varietas dan umur panen tersebut antara lain  varietas mekongga, 120 hari; situ bagendit, 95 hari; dan cigelis, 120 hari. Teknik pemanenan  padi di Desa Sidodadi masih menggunakan alat sederhana yaitu sabit, meskipun alat pemotong yang modern sudah ada, hal ini dikarenakan harga alat pemotong yang mahal dan masih memerlukan kesesuaian pemakaian di lahan.
            Jerami sisa-sisa padi yang ada tidak dikembalikan lagi ke tanah melainkan di bakar oleh petani. Hal ini bertentangan dengan teori yang mengatakan bahwa unsur hara yang di serap oleh padi/tanaman dapat dikembalikan lagi ke tanah dengan cara membenamkan kembali sisa-sisa tanaman yang tidak di gunakan. Pembakaran ini dilakukan karena ketidaktahuan petani akan manfaat pengembalian sisa tanaman ke tanah dan juga masih terhambat oleh belum tersedianya teknologi pengomposan yang lebih cepat.
Hasil padi jenis cigelis per hektar yang terakhir di dapat oleh petani yaitu 8 ton, akan tetapi hasil ini di anggap kurang maksimal kerena untuk lahan yang subur seperti di Desa Sidodadi dan didukung pula dengan pengairan irigasi yang baik maka seharusnya hasil produksi padi lebih tinggi dari 8 ton karena menurut penelitian, jika padi unggul varietas cigelis di tanam di lahan yang tandus maka hasil nya adalah 8 ton per hektar.
Harga jual hasil produksi padi berbeda beda, pada musim hujan harga jual rendah dan ketika musim kemarau harga jual padi tinggi. Keuntungan akan lebih besar jika hasil di jual ke PT Tani karena harga kering panennya relatif stabil yaitu Rp. 4200/kg dan pada pasar local harganya yaitu harga dasar.

             
BAB IV
KESIMPULAN
4.1  Kesimpulan
Berdasarkan interpretasi yang telah dibuat, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Teknik budidaya tanaman padi yang dilakukan petani di Desa Sidodadi termasuk dalam teknik budidaya yang masih berkembang. Sebab dari sarana produksi dan peralatan yang digunakan masih tergolong manual , hanya sebagian sudah menggunakan alat modern seperti pengolahan tanah,perontokan dan penggilingan.
2.      Budidaya tanaman padi yang dilakukan petani belum sesuai dengan prinsip pertanian lestari, sebab masih banyak penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia dalam melakukan usahatani. Namun petani sudah mulai memanfaatkan kotoran ternak sebagai pengganti pupuk kimia guna menekan input produksi yang tinggi dan menjaga ekologi sekitar tanaman.



















DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi. hlm. 631-652. Dalam M.            Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan         Pengembangan Tanam an Pangan, Bogor.
Ananto, E.E. dan A.M. Fagi. 1993. Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm.     101
            108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat  Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993.    Pusat  
           Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman ternak. Puslitbangtan, Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Road Map Strategi SektorPertanian            Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,   Jakarta. 102 hlm.
Barbosa, P. 1998. Conservation Biological Control. Academic Press. USA.
BPS Prov. Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
     Bengkulu. Bengkulu
Bangun, P.1995. Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. A Wiley Interscience Pub.,       New York. 618 pp.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and IRRI. p. 2-37.
Fagi, A.M. 1996. Efficient Water Use Movement. Ministry of Agriculture, Republic of     Indonesia, Jakarta. 9 pp.
Hadi. P. 2005. Abu Sekam Padi Pupuk Organik Sumber Kalium Alternatif pada Pada Sawah. GEMA, Th. XVIII/33/2005. Hal 38 – 45.
Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan hama padi pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting). Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung. Balitpa Sukamandi; 133-144 hlm.
Hsieh, S.C. and C.F. Hsieh. 1990. The use of organik matter in crop production. Paper presented at Seminar on the Use of Organik Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Irawan, Sanim B., Siregar H. dan Kurnia U. 2006. Evaluasi Ekonomi Lahan Pertanian:    
      Pendekatan
Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu   
     Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Kasryno, F. 1983. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pertanian dan tingkat upah. Rural         Dynamic Ser. 23: 204-267.
Laba, I W. 2001. Keanekaragaman Hayati Arthropoda dan Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi pada Ekosistem Sawah. http://tumoutou.net/3_sem1_012/i_w_laba.htm. Diakses Tanggal 23 November 2015.
Lamid, Z. 1993. Dampak dan strategi pengendalian sistem usaha tani lading berpindah di kawasan hutan tropis Sumatera Barat. hlm. 75-80. Prosiding Seminar Ilmiah Lustrum       VI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
Krishnasamy, S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G. Ravi, S.C. Tewari, and W. Van der Hoek. 2003. Statigies For Conservasing Water And Effecting Mosquito Vector Control In Rice Ecosystems. International Water management Institude (IWMI). Waorking Paper 56. 21 pp.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Marwoto, Era Wahyuni dan K.E Neering. 1991. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Hama Kedelai Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Malang
Mejio, D.J. 2008. An overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16.
Mercado, B.L. 1979. Introduction to Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.
Mutakin, J. 2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma pada Kondisi SRI (Systen of Rice Intencification). Tesis. Pascasarjana. Universitas Padjajaran. Bandung.
  PERMENTAN. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. No 28/ Permentan/ SR. 130/5/2009.
  Rohcmah, H. F. dan Sugiyanta. 2010.. Pengaruh Pupuk Organik dan AnorganikTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza sativa L.). Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sajad Sjamsoe’oed. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia, PT   
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salikin, K. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, E. 2005. Rice organic farming is a programme for strengtenning food security in sustainable rural development, Makalah disampaikan pada seminar Internasinal.
Setyono, A., Suismono, Jumali, dan Sutrisno. 2006b. Studi penerapan teknik penggilingan unggul mutu untuk produksi beras bersertifikat. hlm. 633-646. Dalam Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Simanungkalit RDM, Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi penelitian ambang ekonomi hama tanaman
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Soekartawi. 2001. Ilmu Usahatani. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama Tanaman Pangan. Penerbit Andi. Yogyakarta..
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur teknik pemanenan padi pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sutedjo, M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 176 hal.
Taslim, H., S. Partoharjono, dan Djunainah.1989. Bercocok tanam padi sawah. hlm. 507-  522.     Dalam M. Ismunadji, M.Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan          Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607.
Uphoff, N. dan A. Satyanarayana. 2006. Prospect for rice sector improvement with the System of Rice Intensification with evidence from India. p.131-142. In Sumarno, Suparyono, A.
Vessey, J. K. 2003. Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer. Plant Soil 255: 571 - 586.























LAMPIRAN
Pengamatan Tabung Gas Plastik Hasil Biogas Dari Kotoran Sapi

    Wawancara Dengan Ketua Gapoktan
Gudang Penyimpangan Pupuk Kandang
  Ternak Sapi Yang Dikembangkan Petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar