MAKALAH PERTANIAN LESTARI
TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN PADI DI
KELURAHAN KEMUMU
DISUSUN Oleh :
NAMA
:
1. ernawati simanjuntak E1J012041
2. Sri devi girsang E1J012146
3. NICO DWI ARDIYANSAH E1J013079
4. AYU LESTARI E1J013074
5. dewi septi yani E1J013081
6. Hendrik kurniawan E1J013041
7. NOTOMIN WANIMBO E1J012188
2. Sri devi girsang E1J012146
3. NICO DWI ARDIYANSAH E1J013079
4. AYU LESTARI E1J013074
5. dewi septi yani E1J013081
6. Hendrik kurniawan E1J013041
7. NOTOMIN WANIMBO E1J012188
SHIFT : SUB
SHFT 1
dosen
: Ir.Hermansyah,M.P
COASS : Phrilly
Monica panjaitan
LABORATORIUM
AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sektor pertanian
merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian
besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat dengan
jelas dari peranan sektor pertanian didalam menampung penduduk serta memberikan
kesempatan kerja kepada penduduk. Pembangunan pertanian perlu mendapat
perhatian yang lebih baik, sekalipun prioritas pada kebijaksanaan
industrialisasi sudah dijatuhkan, namun sektor pertanian dapat memiliki
kemampuan untuk menghasilkan surplus. Hal ini terjadi bila produktifitas
diperbesar sehingga menghasillkan pendapatan petani yang lebih tinggi dan
memungkinkan untuk menabung dan mengakumulasikan modal. Peningkatan taraf hidup
tersebut diperoleh petani dengan cara meningkatkan pendapatanya.
Untuk memperoleh
pendapatan yang tinggi mereka melaksanakan berbagai kegiatan dengan
mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain (diversifikasi
usahatani) yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan pertanianya
memungkinkan. Pengembangan pendapatan diluar usahatani (off farm income)
juga akan sangat membantu peningkatan kesejahtraan karena terbatasnya potensi
usahatani, berbagai penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan sektor
pertanian akan mampu menurunkan angka kemiskinan petani (Sudarman, 2001).
Sektor pertanian merupakan pengerak
utama pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu. Share Produk Domestik
Regional Bruto sektor pertanian atas dasar harga berlaku dalam 10 tahun
terakhir mencapai 33%, tahun 2002 sebesar Rp 2,02 triliun dan tahun 2011 naik
menjadi Rp 5,95 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39% per tahun.
Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp
3,71 triliun (62,38%) dikuti subsektor sebesar Rp 1,58 triliun (26,60%), dan
subsektor peternakan sebesar Rp 0,65 triliun (11,02%) (BPS 2011).
Data
yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (2010) menginformasikan bahwa
ditinjau dari luas panen dan jumlah produksi, Kabupaten Bengkulu Utara dapat
dikatakan sebagai sentra produksi padi. Luas panen padi di Kabupaten ini
mencapai 21.620 ha at au 16,26% dari total luas panen padi Provinsi Bengkulu
dengan produksi sebesar 83.064 ton atau 16,28% total produksi provinsi. Salah
satu wilayah sentra produksi padi di Kabupaten Bengkulu Utara adalah Kecamatan
Argamakmur, khususnya diSalah satu komoditas pertanian yang diharapkan dapat
bergerak positif dalam hal peningkatan produksi dan pendapatannya adalah padi.
Kerberlanjutan produksi padi sangat penting untuk dijaga mengingat perannya sebagai
bahan pangan pokok, juga merupakan komoditas strategis dalam menjaga ketahanan
pangan. Kelurahan
Kemumu, Desa ini memiliki jumlah populasi petani padi terbanyak yang mencapai
386 orang yang terbagi dalam 12 kelompok tani dengan luas lahan 368 Ha.
Permasalahan yang
paling sering dihadapi petani pada kegiatan usahatani padi terkait dengan
penggunaan sarana produksi usahatani (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan
lainnya) adalah kemampuan petani untuk membeli sarana produksi tersebut karena
rendahnya akumulasi modal usahatani yang dimiliki. Petani sering kali
penggunaan input tidak optimal sehingga pemeliharaan dalam aktivitas usahatani
tidak memadai. Padahal penggunaan input atau faktor produksi seperti bibit,
pupuk urea, pupuk phonska, pelangi, pupuk organik, pestisida dan tenaga kerja
secara tepat dan efisien akan memberikan keuntungan kepada petani. Peningkatan produksi padi hanya dapat
dilakukan dengan pengelolaan usahatani yang baik dengan dukungan teknologi
serta jaminan ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit
unggul, pupuk dan obat-obatan.
Melihat
permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan
produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan
sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.
Untuk mengantisipasi berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian
yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi
sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian
berkelanjutan.
Pemerintah memiliki peran vital
untuk memajukan sumberdaya petani agar kesejahteraan petani semakin meningkat.
Pemerintah dapat meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan sarana produksi
pertanian seperti benih/bibit yang memiliki sertifikat standar nasional, pupuk
dan obat-obatan yang memadai. Menurut Sajad (1997), salah satu usaha dalam
meningkatkan produksi padi sangat bergantung pada mutu benih padi. Untuk itu
pemerintah perlu menyediakan sarana produksi dengan mutu yang baik guna
meningkatkan produksi pertanian.
Dalam mewujudkan
pertanian berkelanjutan petani perlu memanfaatkan faktor produksi secara
efektif dan efisien untuk produksi usahataninya. Efisiensi produksi hendaknya
penting diperhatikan oleh petani. Upaya-upaya peningkatan produksi tanaman
pangan melalui jalur ekstensifikasi tampaknya semakin sulit, terbatasnya lahan
pertanian produktif dan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang
sulit dibendung karena berbagai alasan. Upaya peningkatan produksi tanaman
pangan melalui efisiensi produksi menjadi salah satu pilihan yang tepat. Dengan
efisiensi, petani dapat menggunakan input produksi sesuai dengan ketentuan
untuk mendapat produksi yang optimal.
Upaya untuk meningkatkan produksi
pertanian (padi) telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui
lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.
Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa masih terjadi
perbedaan yang tinggi antara potensial produksi padi berbeda dengan hasil yang
diperoleh petani. Perbedaan hasil umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi
dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi yaitu kondisi keterbatasan petani
untuk menggunakan inovasi teknologi budidaya, seperti pengetahuan, akses
terhadap sumber modal, pemasaran, prasarana transportasi, irigasi. Sedangkan
faktor teknis ketersediaan air irigasi, kondisi kesuburan lahan, hama dan
penyakit tanaman. Faktor-faktor ini akan menjadi pertimbangan bagi petani dalam
mengalokasikan input seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, dan obat-obatan.
Usahatani padi sawah tidak hanya
sebagai penghasil bahan makanan tetapi juga mempunyai nilai multifungsi yang
menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan dari kegiatan usahatani antara
lain penyedia lapangan kerja dan penyangga ketahanan pangan (Irawan at al.
2006). Oleh karenanya perlu pengelolaan yang tepat dengan menggunakan faktor
produksi secara efisien guna meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan
produksi. Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dalam usahatani padi
sawah akan mengakibatkan rendahnya produksi dan tingginya biaya, dan pada
akhirnya mengurangi pendapatan petani. Bagi petani kegiatan usahatani yang
dilakukan tidak hanya meningkatkan produksi tetapi bagaimana menaikkan
pendapatan melalui pemanfaatan penggunaan faktor produksi.
Pengelolaan input produksi harus
mempertimbangkan prinsip optimalisasi guna pencapaian produksi yang tinggi
dengan alokasi input yang efisien dan efektif. Menurut Soekartawi (2001),
efisien ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi
alokatif (efisiensi harga), dan efisiensi ekonomi. Petani sebagai entrepreneur
akan bertindak secara rasional dan logis dalam pengelolaan usahataninya.
Sumberdaya yang terbatas akan dimanfaatkan oleh petani secara efisien guna
memperoleh keuntungan yang maksimum. Akan tetapi karena keterbatasan ekonomi,
pengetahuan usahatani maka tingkat penggunaan sumberdaya secara optimal belum
tercapai.
1.2
Tujuan Praktikum
1. Mengetahui teknik budidaya tanaman
padi yang dilakukan petani di Desa Sidodai Kelurahan Kemumu.
2. Mengevaluasi dan membandingkan teknik
budidaya padi sawah yang dilakukan petani dengan prinsip pertanian lestari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penerapan Metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang
mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman,
tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas
padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%. Metode
ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun
1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ. Pada tahun
1987, untuk pertama kalinya metode SRI diterapkan di Indonesia. Hasil metode
SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang
produksinormalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen
lebih dari 8 ton/ha,beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang
mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat
dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanyasaja diperlukan pikiran
yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.Dalam
SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya,
bukandiperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi
dalam tanaman padidikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai
dengan pertumbuhannya (Santosa,
2005).
Dengan demikian biaya yang keluarkan
menjadi lebih efisien dan murah.
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik darimusim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untukdapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanamtiba.Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnyabahan organik dan kesehatan tanah (Mutakin, 2005).
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik darimusim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untukdapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanamtiba.Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnyabahan organik dan kesehatan tanah (Mutakin, 2005).
2.2
Pengolahan Tanah
Teknologi pengolahan tanah mempunyai tujuan ganda, baik
dalam penyiapan lahan dan pengelolaan air maupun pengendalian gulma. Pada era
prarevolusi hijau, penyiapan lahan untuk budi daya padi sawah hanya diawali
dengan pengolahan tanah sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah, hanya
dengan menebas gulma dan kemudian membakarnya (Lamid, 1993)
Pada era revolusi hijau yang
diiringi oleh kemajuan peradaban zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), pengolahan tanah secara sederhana ditinggalkan petani dan
diganti dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian
(alsintan). OTS menjadi salah satu komponen teknologi anjuran dalam program
intensifikasi padi sawah (Bimas, Inmas,Insus, dan Supra Insus) yang
mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan teknologi OTS awalnya berdampak positif terhadap
efisiensi usaha tani padi karena menghemat biaya dan tenaga kerja untuk
pengendalian gulma, memfasilitasi penerapan komponen teknologi lain, dan
meningkatkan produktivitas (Kasryno 1983; Ananto 1989). Namun, di balik
keberhasilan itu, revolusi hijau meninggalkan beberapa masalah, antara lain
tanah menjadi sakit (soil sickness) (Utomo 1995). Pelumpuran tanah secara
terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan anorganik pada takaran tinggi diduga
menjadi salah satu penyebab perubahan fisika kimia tanah pada zona perakaran
tanaman, yang berdampak terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
Perubahan iklim berdampak pula
terhadap perubahan fisik tanah dan penurunan produktivitas tanaman yang pada
gilirannya akan menurunkan produksi Padi
sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan terhadap perubahan iklim dan
penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di bidang pertanian (Las et al., 2008; Badan Litbang Pertanian
2010).
Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah satu teknologi yang
prospektif dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS dan menurunkan
GRK dalam pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010). TOT dikenal
sebagai teknologi olah tanah konservasi (OTK) (conservation tillage) dan makin
populer di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, karena memiliki
beberapa keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman
biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata,
memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas tanam dan
pendapatan (Simanungkalit, 2006). Selain itu, teknologi ini membuka peluang
bagi penggunaan herbisida nonselektif purnatumbuh yang bekerja secara sistemik
atau secara kontak (Bangun 1995; Utomo 1995).
Olah Tanah Sempurna (OTS) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
program intensifikasi padi sawah. Swasembada beras yang diraih pada tahun 1984
tentu tidak dapat dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan tulang
punggung pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program
intensifikasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah,
seperti degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah
pertanian (residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta
timbulnya biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hsieh, 1990).
Proses OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah
sampai jenuh bahkan kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh
pembajakan dua kali dan penggaruan untuk pelumpuran lahan, memerlukan waktu
relatif lama sebelum padi ditanam. Tujuan utama OTS adalah mengendalikan gulma
pada stadia awal pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi tanah, mencampur sisa
gulma dan tanaman dengan tanah, membantu pembentukan tapak bajak, menyeragamkan
tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor (P),
dan memudahkan tanam (Taslim et al., 1989).
Pada budi daya padi sawah, masing-masing 30% dari total
kebutuhan air, total tenaga kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan
lahan sehingga indeks pertanaman maksimum hanya 200-250/tahun (Ananto dan Fagi
1993). Pembajakan atau pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke
luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan organik, dan hara
tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur besi (Fe) dan
sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran (oksidasi) sehingga
meracuni akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma (Mercado et.al, 1979).
Penerapan OTS dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul
memberikan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih baik, tetapi indeks
pertanaman lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan mesin pengolah tanah
(hand tractor) karena memerlukan waktu yang lebih panjang (De Datta 1981).
Dengan menggunakan bajak traktor, proses tanam dapat dipercepat sehingga indeks
pertanaman meningkat. Namun, hasil padi lebih rendah karena adanya senyawa
beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh proses pelapukan bahan organik (gulma
dan singgang). Senyawa ini mengganggu pertumbuhan vegetatif dan reproduktif
tanaman.
2.3
Pengelolaan Irigasi
dan
Drainase
Pemberian air pada padi sawah dalam jaringan irigasi, terdapat 3
sistem, yaitu : sistem irigasi terus menerus, sistem irigasi rotasi, dan sistem
irigasi berselang. Kebanyakan jaringan irigasi yang ada di Indonesia,
menerapkan sistem irigasi terus menerus (continous flow).
Dalam penelitiannya di
madura, Krishnasamy et al. (2003)
menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi
genangan air dilahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi
(varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produktivitasnya relatif lebih tinggi
dibanding sistem irigasi terus menerus dan irigasi bergilir (Krishnasamy et al. 2003).
Dengan irigasi
berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang
terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat
2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan
terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dann
berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Lebih jauh Krishnasamy et al.(2003) melaporkan bahwa
produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding
penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat
hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan
sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibandingkan pada sistem
penggenangan terus menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%).
2.4
Pemupukan
Pemupukan adalah cara
yang digunakan untuk memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Pupuk sendiri
dibagi menjadi dua yatiu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik merupakan
pupuk hasil dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba yang hasil akhirnya
dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Contohnya yaitu pupuk kandang, pupuk kompos, pupuk hijau,
pupuk kascing. Pupuk anorganik adalah pupuk buatan pabrik berupa bahan kimia
yang riramu sedikian rupa sehingga menghasilkan pupuk yang dapat digunakan untuk
tanaman, seperti pupuk urea, SP-36, dan KCl (Hadi,2005).
Havlin et al. (2005) menyatakan bahwa unsur
hara yang dibutuhkan tanaman padi ada 16 unsur hara essensial yaitu unsur hara
makro dan mikro. Tetapi, unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak yaitu
N, P dan K ditambah unsur hara makro lain dan unsur hara mikro yang dibutuhkan
dalam jumlah yang kecil. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak
selalu mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin,
2003). Menurut Hadi (2005) pupuk adalah bahan yang memberikan zat hara bagi
tanaman. Pupuk yang dikenal saat ini ada dua yaitu pupuk organik seperti pupuk
hayati, kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan lain-lain, dan pupuk anorganik
seperti urea, SP-36, TSP dan lain-lain.
2.4.1
Pupuk Organik
Pupuk Organik adalah
nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat
dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Simanungkalit dan
Suriadikarta,2006). Menurut Simanungkalit dan Suriadikarta (2006), definisi
tersebut menunjukan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-
organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang
menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk
dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah
organik. Menurut
Prihmantoro (1999) keunggulan pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik yaitu
memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan
kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sumber makanan bagi tanaman.
Dobermann and Fairhurst
(2002). Tisdale et al. (1993) menyebutkan delapan fungsi bahan organik
dalam tanah, yaitu: (1) sebagai pemasok dan cadangan hara makro dan mikro bagi
tanaman, (2) memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), (3) menyediakan energi
bagi mikroorganisme tanah; (4) meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah, (5)
memperbaiki struktur dan pelumpuran tanah, (6) mencegah pengerasan tanah dan
meningkatkan kapasitas infiltrasi air, (7) sebagai perekat partikel tanah, dan
(8) sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan cepat reaksi tanah. Multifungsi
tersebut bersifat interaktif dan sinergis, yang berdampak positif terhadap
kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah. (Uphoff , 2006).
Hasil penelitian
Raochmah (2010) menunjukkan bahwa pengaruh yang sama antara perlakuan pemupukan
urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen yang berasal dari azola
pada tanaman padi. Hasil penelitian lain yaitu Rohcmah dan Sugiyanta (2010)
menunjukkan bahwa kombinasi pupuk organik dan anorganik pada tanaman padi yaitu pupuk organik 10
ton/Ha dan pupuk anorganik (200 kg urea/ha + 100 kg SP-36/ha + 100 kg KCl/ha)
mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya menggunkan
pupuk anorganik. Hadi (2005) menyarankan agar memanfaatkan abu sekam sebagai
alternative pupuk organik sumber kalium pada budidaya tanaman padi sawah.
Sumber bahan organik
dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami,
berangkasan, bongkol jagujng, bagas tebu dan sabut kelapa), limbah ternak,
limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Limbah
industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari pabrik
gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak,
dan sebagainya (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).
Pupuk hayati adalah
salah satu dari pupuk organik. Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung
mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk
membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Menurut Vessey (2003)
pupuk hayati adalah substansi yang mengandung mikroorganisme hidup yang jika
diaplikasikan kepada benih, permukaan tanaman atau tanah dapat memacu
pertumbuhan tanaman. Permentan (2009) pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah.
2.5 Pengendalian Hama Dan Penyakit
Tanaman
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika
populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan
akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan
komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah
meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat
menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat
berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang
Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih
besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara
berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit
perlu dilaksanakan.
Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi
adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai
dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan
kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian. Menurut
Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang
memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama
berikutnya yang dapat mencapai Aras LukaEkonomi, ALE (Economic Injury Level).
Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang
mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan
akibat hama sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan,
sehingga tidak terjadi kerugian.
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan
perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman,
populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll).
Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak
terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit
tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena
tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman,
budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian
mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu
diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan
keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya
sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan
tanaman (Makarim, et.al., 2003).
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa
merusak tanaman padi adalah
tikus,
wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, dan hawar
daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam
keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar
kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada
varietas rentan juga menjadi masalah (Hendarsih, et. al., 1999). Sedangkan
pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi terutama adalah
tikus, penggerek batang dan walang sangit.
Berbagai jenis serangga hama menyerang tanaman padi
dari mulai benih sampai siap panen, dan masing-masing serangga hama tersebut
mempunyai musuh alami di alam. Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh
jenis-jenis serangga hama pada tanaman padi yang dirangkum dari Suharto (2007). Tabel 1. Jenis-jenis
serangga hama pada tanaman padi sawah dan kerusakan yang ditimbulkan.
No
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Daerah
|
Familia
|
Kerusakan
yang ditimbulkan
|
|||
1
|
Leucopholis
rorida dan Heteronychus
spp.
|
Hama uret
|
Scarabidae
|
Larva
memakan akar, dewasa (kumbang) memakan daun padi
|
|||
2
|
Antherigona
oryzae Malloch dan
A.exigua Stein
|
Lalat bibit
padi
|
Muscidae
|
Menyerang
titik tumbuh bibit padi
|
|||
3
|
Nymphula
depunctalis
|
Hama putih
|
Pyralidae
|
Menyerang
daun
|
|||
4
|
Orselia
oryzae Wood-Mason
|
Hama Ganjur
|
Cecidomyii-dae
|
Larva
memakan titik tumbuh daun
|
|||
5
|
Cnaphalocroccis
medinalis Guenne
|
Ulat
penggu-lung daun/
Hama putih
palsu
|
Pyralidae
|
Larva
menggulung dan memakan daun
|
|||
6
|
Scirpophaga
innotata
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
|
|||
7
|
Scirpophaga
incertulas
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan tangkai atau pangkal daun
|
|||
8
|
Chilo
supressalis
|
Pengge-rek
batang padi
|
Pyralidae
|
Menggerek
batang dan memakan bagian dalam batang
|
|||
9
|
Sesamea
inferens
|
Pengge-rek
batang padi
|
Noctuidae
|
Larva
menggerek batang dan memakan pelepah daun
|
|||
10
|
Scotinophora
coartata
|
Kepin-ding
tanah
|
Pentatomidae
|
Nimfa dan
serangga dewasa menghisap cairan tanaman
|
|||
11
|
Nilaparvata
lugens Stal
|
Wereng
batang coklat
|
Delphacidae
|
Nimfa dan
dewasa menghisap cairan batang
|
|||
12
|
Sogatella
furcifera Jorv.
|
Wereng
batang pung-gung putih
|
Delphacidae
|
Menghisap
cairan tanaman pada awal tanam
|
|||
13
|
Nephotettix
spp.
|
Wereng daun
hijau
|
Cicadellidae
|
Menghisap
cairan daun dan vektor penyakit beberapa penyakit
|
|||
14
|
Recilia
dorsalis Motch
|
Wereng daun
zigzag/ loreng
|
Cicadellidae
|
Menghisap
cairan daun
|
|||
15
|
Leptocorissa
acuta Thunb.
|
Walang
sangit
|
Coreidae
|
Nimfa dan
serangga dewasa menghisap bulir padi
|
|||
Sumber : Dirangkum dari Suharto,2007
Kemampuan musuh-musuh alami sebenarnya mampu
mengendalikan lebih dari 99% serangga agar tetap berada pada jumlah yang tidak
merugikan, sehingga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara sengaja
mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami sebagai pengendali ledakan
populasi serangga (Marwoto, et al., 1991). Tabel 2 menyajikan kemampuan
musuh alami dalam mengendalikan serangga hama tanaman padi.
Tabel
2. Pemanfaatan Serangga Predator dan Parasitoid untuk Pengendalian Serangga
Hama Tanaman Padi
No
|
Nama Ilmiah
|
Familia
|
Status
|
Inang/mangsa
|
Kemam-puan
merusak/
Mempa-rasit
|
1
|
Anagrus
sp.
|
Mymaridae
|
Parasitoid
|
Telur wereng
batang coklat dan wereng hijau
|
38%
|
2
|
Gonatocerus
sp.
|
Mymaridae
|
Parasitoid
|
Telur wereng
batang dan wereng daun
|
Wereng
batang coklat 1,16-6,04%, wereng hijau 34,08%, wereng punggung putih 7,05%
|
3
|
Oligosita
sp.
|
Tricho-gramma-tidae
|
Parasitoid
|
Telur wereng
batang dan wereng daun
|
10,5-37%
|
4
|
Paederus
sp.
|
Coccinelli-dae
|
Predator
|
Wereng
batang coklat
|
Kombinasi
dari 2 Paederus sp. +1 Ophionea sp. Mampu memangsa 7 wereng per
hari
|
5
|
Ophionea
sp.
|
Carabidae
|
Predator
|
Wereng
batang coklat
|
Memangsa
wereng batang coklat 2,73/hari
|
6
|
Coccinella
sp.
|
Coccinelli-dae
|
Predator
|
Wereng
|
Belum ada
data
|
7
|
Cyrtorhinus
lividipennis
|
Miridae
|
Predator
|
Berbagai
jenis wereng
|
Memangsa 4,1
telur wereng per hari
|
8
|
Verania
lineata Thumb.
|
Coccinelli-dae
|
Predator
|
Wereng
batang dan wereng daun
|
Memangsa
2,83 wereng batang coklat per hari
|
Sumber
: Dirangkum dari I Wayan Laba, 2001
Barbosa (1998) menegaskan bahwa diperlukan
pengetahuan tentang biologi, perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami
dalam menerapkan strategi konservasi musuh alami. Untuk mengembangkan
konservasi dan peningkatan musuh alami yang efektif diperlukan pemahaman yang
holistik tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi musuh alami
dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan hama. Dengan kata lain faktor
pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami harus bisa diidentifikasi
sehingga bisa dilakukan manipulasi untuk meningkatkan populasi musuh alami atau
memfasilitasi interaksi antara musuh alami dan hama atau gulma.
2.6 Panen Dan Pasca Panen
Mejio (2008)
menjelaskan, pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemanenan,
pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen
bertujuan untuk menekan kehilangan hasil, meningkatkan kualitas, daya simpan,
daya guna komoditas pertanian, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan
nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan pascapanen padi
meliputi (1) pemanenan, (2) perontokan, (3) perawatan atau pengeringan, (4)
pengangkutan, (5) penggilingan, (6) penyimpanan, (7) standardisasi mutu, (8)
pengolahan, dan (9) penanganan limbah.
Masalah utama
dalam pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil karena tercecer atau
tidak terontok, terbuang bersama jerami, rusak dan rendahnya mutu gabah dan
beras. Tingkat kehilangan hasil padi selama penanganan pascapanen mencapai
20-21%, yang terbesar terjadi pada pemanenan, yaitu sektar 9% dan pada
perontokan sekitar 5% (Ananto et.al
, 2003). Disamping untuk
menekan kehilangan hasil, faktor efisiensi pelaksanaan kegiatan di lapangan
menjadi faktor utama dalam pemilihan jenis, sistem dan alat yang dapat
mendukung kegiatan pasca panen padi tersebut. Salah satu tahapan kegiatan
penanganan pasca panen padi yaitu perontokan padi.
Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak
positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu,
penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural Practices
(GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) (Setyono et
al. 2008a). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan
mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al.
2006b).
Pada awal
kegiatan perontokan padi, petani merontok dengan cara menginjak-injak (iles)
padi, membanting (gebot) dan memukul. Bahkan ada petani yang menggunakan sepeda
motor dengan menjalankannya diatas hamparan padi yang akan dirontok. Menurut
Ananto et.al (2003), cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas
kerja yang sangat rendah, yaitu hanya 25-30 kg/jam. Seiring dengan perkembangan
teknologi, proses perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi
menjadi tiga kategori yaitu secara manual dengan menggunakan alat gebot, pedal
threser serta mesin power threser. Upah perontokan biasanya tidak terpisah dari
biaya panen secara keseluruhan terutama pada kegiatan panen yang menggunakan
alat gebot atau pedal threser, dimana penderep sekaligus sebagai perontokan
sudah tercakup didalam upah bawon yang besarnya antara 10-23%.
Perontokan padi
dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan membantingkan segenggam batang
padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu atau besi. Dalam proses perontokan
dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan mengenai penggunaan alas terpal
untuk menghindari banyaknya gabah yang tercecer akibat ayunan serta terpaan
angin pada saat perontokan. Menurut Suismono (2006), untuk menghindari adanya
kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih
dialasi plastic atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke
tempat perontokan yang telah dialasi plastic terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang
dilengkapi dengan tirai.
Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau memukulkan genggaman padi ke
alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali. Pembersihan sisa gabah yang masih menempel
pada jerami dapat dilakukan secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat
menggunakan karung plastic yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak
tercecer.
BAB III
INTERPRETASI
Survei lapangan dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara, Kelurahan Kemumu Desa Sidodadi. Narasumber yang kami
wawancarai yaitu pak Sulam
berusia 64 tahun yang
menjadikan petani
tanaman pangan dan
peternakan sebagai pekerjaan utama serta selaku ketua kelompok tani yang
mambagikan informasi mengenai sistem usaha tani yang ada pada daerah tersebut.
Dari
informasi yang diberikan serta survey langsung kelapangan dapat di ketahui
bahwa pada desa tersebut sudah memulai sistem pertanian terpadu tanaman pangan,
hortikultura dan ternak. Tanaman pangan yang dibudidayakan yaitu padi dan
jagung, untuk tanaman hortikultura yaitu tomat dan lainya. Hewan utama yang diternakkan yaitu sapi dan hewan
sampingan yang diternakkan yaitu ayam dan entok. Sapi yang menjadi hewan ternak
utama berjumlah 35 ekor terdiri dari 32 ekor sapi betina dan 3 ekor sapi jantan. Sistem pemeliharaannya
yaitu di serahkan ke anggota kelompok tani 1 orang 2 ekor sapi.
Kotoran
hewan yang diternakkan sebagian di gunakan sebagai pupuk kandang dan sebagian
lagi di komposkan. Kotoran sapi yang dihasilkan mencapai 1 ton per hari,
sehingga tempat untuk menampungnya tidak cukup. Untuk pengelolaan kompos sudah
dilakukan oleh petani setempat akan tetapi karena proses pengomposan dilakukan
diruangan yang dilakukan dengan proses manual maka pengolahan kompos
berlangsung lama. Pupuk kandang dan kompos yang dihasilkan kegunaannya masih
belum banyak diketahui oleh petani setempat sehingga hanya beberapa daerah saja
yang menggunakan pupuk kandang dan kompas selebihnya pupuk kandang yang
dihasilkan masih banyak yang dibiarkan begitu saja dan jika hasil pupuk kandang
akan di terapkan ke lapangan maka pupuk kandang dan kompos masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
pupuk organik
sistem pertanian terpadu yang diterapkan salah satu kelompok tani tersebut.
Tidak hanya
kompos dan pupuk kandang saja yang dapat digunakan untuk tambahan unsur hara,
tetapi juga urin yang dihasilkan dari ternak bisa di gunakan untuk tambahan
unsur hara, hanya saja karena tempat dan fasilitas yang
belum memadai maka urin ternak tersebut belum dimanfaatkan dan terbuang
saja. Kompos yang
dihasilkan sudah mencapai 1 ton dan dijual dengan harga 15 ribu per 45 kg.
Kotoran sapi yang ada juga dimanfaakan petani
setempat untuk menjadi biogas. Biogas ini digunakan untuk menghemat penggunaan
listrik dan dapat juga di gunakan untuk memasak. Biogas di masukkan ke dalam tabung gas atau sejenis plastik yang diatasnya di beri pemberat seperti karung berisi
pasir
sebagai pemberat. Biogas ini
bisa tahan antara 2-3 hari.
Kelompok
tani di desa sidodadi yang diketuai pak Sulam menggarap sawah sekitar
25 Ha yang sudah menggunakan
irigasi teknis sebagai sumber airnya. Jika dijumlahkan dengan kebun hortikultura
yang ada maka total luas
lahan yang di olah di desa tersebut mencapai 40 Ha. Untuk pengolahan lahan
tersebut diserahkan kepada petani pemilik dan petani penggarap yang per 1 hektarnya di kelola oleh 1 atau 2 orang.
Jenis
padi yang di budidayakan oleh petani desa sidodadi adalah jenis padi unggul
seperti mekongga dan cigelis. Menggunakan varietas padi yang unggul memberikan
beberapa keuntungan, diantaranya :
1. Benih tumbuh cepat dan serempak.
2. Jika disemaikan akan menghasilkan bibit yang kuat dan sehat.
3. Pada saat ditanam pindah, bibit tumbuh lebih cepat
dan seragam.
4. Jumlah anakan optimum, sehingga akan memberikan hasil yang tinggi.
Waktu tanam padi
seharusnya dilakukan pada akhir bulan oktober tetapi molor karena musim yang
sulit di prediksi.
Lahan yang ada di desa sidodadi berupa lahan
berbukit sehingga dilakukan tindakan konservasi lahan berupa terasering. Teras yang digunakan di
sawah tersebut yaitu teras bangku. Ukuran terasering di lahan sawah cukup bermacam-macam sesuai dari luas lahan mulai dari kecil hingga memanjang,
jika lahannya datar maka teraseringnya per 1 hektar di buat hanya 2 petak saja.
Pengolahan
tanah untuk penanaman padi di Desa Sidodadi sudah menggunakan traktor dan garu bajak. Alat untuk
penanaman masih manual yaitu menggunakan caplak. Alat yang modern sudah ada namun untuk penggunaannya belum
direalisasiakan. Proses penanaman bisa langsung dilakukan tanpa adanya
pemupukan terlebih dahulu atau bisa juga dilakukan setelah lahan di pupuk. Hal
ini dilakukan sesuai kondisi lahan.
Jumlah benih yang disemai dan di tanam ke lahan yang sudah di siapkan sebanyak
20 kg per Ha dan benih yang telah di semai akan ditanam dengan sistem legowo 1 : 1.
Pemupukan
bisa dilakukan pada satu hari sebelum lahan ditanami yaitu diberi pupuk SP36 30 %, kemudian diberikan pupuk urea setelah 7 hari. Padi yang disemai di pindahkan ke lahan lalu setelah 2
minggu di berikan pupuk ke dua. Jumlah total 3 jenis pupuk yang di berikan
yaitu pupuk SP36,
Phonska, dan Urea yaitu ½ ton per musim tanam dan juga di tambah zat
pengatur tumbuh.
Hama dan
penyakit yang sering di temui oleh petani yaitu ulat grayak, ulat putih,
penyakit patah leher dan penyakit yang disebabkan oleh cendawan atau jamur. Ciri-ciri
penyakit patah leher yaitu ada titik hitam di tangkai sebelum keluar malai lalu tangkai
nya patah sehingga tidak terjadi pembentukan malai.
Untuk
mengatasi hama dan penyakit petani masih menggunakan pestisida akan tetapi penggunaan
pestisida ini tidak dilakukan asal-asalan oleh petani. Petani menggunakan
pestisida sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang tanamannya namun
petani memilih pestisida bukan karena bahan aktif yang ada pada pestisida
tersebut melainkan karena harganya. Meskipun petani tau jenis-jenis bahan aktif
yang baik digunakan dan yang terkandung pada pestisida tersebut jika harganya mahal maka petani akan
beralih ke jenis pestisida yang lebih murah. Meskipun nantinya mngakibatkan petani mengaplikasikan pestisida
tersebut beruang kali hingga hama/penyakit yang menyerang berkurang ataupun
mati.
Pengendalian
hama dengan cara pergiliran
tanaman untuk mengembalikan unsur hara dan memutus rantai serangan hama sudah ada programnya dari
pemerintah, akan tetapi ada banyak kendala untuk pelaksanaan dilapangan, banyak
petani yang tidak mau melakukan pergiliran tanaman karena tidak mau ambil
resiko ketika harga jual jatuh dan tidak ada masyarakat yang mau membeli yang
menyebabkan petani merugi.
Waktu
panen padi di Desa Sidodadi berbeda-beda
tergantung varietas yang ditanam. Jenis varietas
dan
umur panen tersebut antara lain varietas mekongga, 120 hari; situ bagendit, 95 hari; dan
cigelis, 120 hari.
Teknik pemanenan padi di Desa Sidodadi
masih menggunakan alat
sederhana yaitu sabit,
meskipun alat pemotong yang modern sudah ada, hal ini dikarenakan harga alat
pemotong yang mahal dan masih memerlukan kesesuaian
pemakaian di lahan.
Jerami
sisa-sisa padi yang ada tidak dikembalikan lagi ke tanah melainkan di bakar
oleh petani. Hal ini bertentangan dengan teori yang mengatakan bahwa unsur hara
yang di serap oleh padi/tanaman dapat dikembalikan lagi ke tanah dengan cara
membenamkan kembali sisa-sisa tanaman yang tidak di gunakan. Pembakaran ini
dilakukan karena ketidaktahuan petani akan manfaat pengembalian sisa tanaman ke
tanah dan juga masih terhambat oleh belum tersedianya teknologi pengomposan
yang lebih cepat.
Hasil padi jenis
cigelis per hektar
yang terakhir di dapat oleh petani yaitu 8 ton, akan tetapi hasil ini di anggap
kurang maksimal kerena untuk lahan yang subur seperti di Desa Sidodadi dan didukung pula dengan pengairan irigasi
yang baik maka seharusnya hasil produksi padi lebih tinggi dari 8 ton karena
menurut penelitian, jika padi unggul varietas cigelis di tanam di lahan yang
tandus maka hasil nya adalah 8 ton per hektar.
Harga jual hasil
produksi padi berbeda beda, pada musim hujan harga jual rendah dan ketika musim
kemarau harga jual padi tinggi. Keuntungan akan lebih besar jika hasil di jual ke
PT Tani karena harga
kering panennya relatif stabil yaitu Rp. 4200/kg dan pada pasar local harganya yaitu harga dasar.
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
interpretasi yang telah dibuat, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Teknik budidaya tanaman padi yang
dilakukan petani di Desa Sidodadi termasuk dalam teknik budidaya yang masih
berkembang. Sebab dari sarana produksi dan peralatan yang digunakan masih
tergolong manual , hanya sebagian sudah menggunakan alat modern seperti
pengolahan tanah,perontokan dan penggilingan.
2.
Budidaya tanaman padi yang dilakukan
petani belum sesuai dengan prinsip pertanian lestari, sebab masih banyak
penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia dalam melakukan usahatani. Namun
petani sudah mulai memanfaatkan kotoran ternak sebagai pengganti pupuk kimia
guna menekan input produksi yang tinggi dan menjaga ekologi sekitar tanaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi.
hlm. 631-652. Dalam M. Ismunadji,
M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanam an Pangan, Bogor.
Ananto, E.E. dan A.M. Fagi. 1993.
Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm. 101
108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan
teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman
ternak. Puslitbangtan, Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2010. Road Map Strategi SektorPertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta. 102
hlm.
Barbosa,
P. 1998. Conservation Biological Control. Academic Press. USA.
BPS Prov.
Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi
Bengkulu. Bengkulu
Bangun, P.1995. Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305
De Datta, S.K. 1981. Principles and
Practices of Rice Production. A Wiley Interscience Pub., New York. 618 pp.
Dobermann, A. and T.
Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash &
Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC)
and IRRI. p. 2-37.
Fagi, A.M. 1996. Efficient Water Use
Movement. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia,
Jakarta. 9 pp.
Hadi. P. 2005. Abu Sekam Padi Pupuk Organik Sumber Kalium
Alternatif pada Pada Sawah. GEMA, Th. XVIII/33/2005. Hal 38 – 45.
Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan
hama padi pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting).
Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung.
Balitpa Sukamandi; 133-144 hlm.
Hsieh, S.C. and C.F.
Hsieh. 1990. The use of organik matter in crop production. Paper presented at
Seminar on the Use of Organik Fertilizers in Crop Production Suweon, South
Korea, 18-24 June 1990.
Irawan,
Sanim B., Siregar H. dan Kurnia U. 2006. Evaluasi Ekonomi Lahan
Pertanian:
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Kasryno, F. 1983. Perkembangan
penyerapan tenaga kerja pertanian dan tingkat upah. Rural Dynamic Ser. 23: 204-267.
Laba,
I W. 2001. Keanekaragaman Hayati Arthropoda dan Peranan Musuh Alami Hama Utama
Padi pada Ekosistem Sawah. http://tumoutou.net/3_sem1_012/i_w_laba.htm.
Diakses Tanggal 23 November 2015.
Lamid, Z. 1993. Dampak dan strategi
pengendalian sistem usaha tani lading berpindah di kawasan hutan tropis Sumatera Barat. hlm. 75-80. Prosiding Seminar
Ilmiah Lustrum VI Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
Krishnasamy,
S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G. Ravi, S.C. Tewari, and W. Van der
Hoek. 2003. Statigies For Conservasing
Water And Effecting Mosquito Vector Control In Rice Ecosystems.
International Water management Institude (IWMI). Waorking Paper 56. 21 pp.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003.
Petunjuk Teknis
Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu.
Departemen Pertanian; 38 hlm.
Marwoto, Era Wahyuni
dan K.E Neering. 1991. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Hama Kedelai
Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Malang
Mejio, D.J. 2008. An overview of rice
postharvest technology: Use of small metallic for minimizing losses.
Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering Technologies
Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16.
Mercado, B.L. 1979. Introduction to
Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.
Mutakin, J.
2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma pada Kondisi SRI
(Systen of Rice Intencification). Tesis.
Pascasarjana. Universitas Padjajaran. Bandung.
PERMENTAN. 2009. Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. No
28/ Permentan/ SR. 130/5/2009.
Rohcmah, H. F. dan Sugiyanta. 2010.. Pengaruh
Pupuk Organik dan AnorganikTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza
sativa L.). Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sajad
Sjamsoe’oed. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salikin,
K. A. 2003. Sistem Pertanian
Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, E. 2005. Rice
organic farming is a programme for strengtenning food security in sustainable
rural development, Makalah disampaikan
pada seminar Internasinal.
Setyono, A., Suismono,
Jumali, dan Sutrisno. 2006b. Studi penerapan teknik penggilingan unggul mutu
untuk produksi beras bersertifikat. hlm. 633-646. Dalam Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Simanungkalit RDM, Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian,
Bogor.
Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi
penelitian ambang ekonomi hama tanaman
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Soekartawi. 2001. Ilmu Usahatani. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama
Tanaman Pangan. Penerbit Andi. Yogyakarta..
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur
teknik pemanenan padi pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sutedjo, M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka
Cipta. Jakarta. 176 hal.
Taslim, H., S. Partoharjono, dan
Djunainah.1989. Bercocok tanam padi sawah. hlm. 507- 522. Dalam M. Ismunadji,
M.Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tisdale, S.L., W.L.
Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers.
Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney.
p. 462-607.
Uphoff,
N. dan A. Satyanarayana. 2006. Prospect for rice sector improvement with the
System of Rice Intensification with evidence from India. p.131-142. In Sumarno,
Suparyono, A.
Vessey, J. K. 2003.
Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer. Plant Soil 255: 571 - 586.
LAMPIRAN
Pengamatan Tabung Gas Plastik
Hasil Biogas Dari Kotoran Sapi
|
Wawancara Dengan Ketua Gapoktan
|
Gudang Penyimpangan Pupuk Kandang
|
Ternak Sapi Yang Dikembangkan Petani
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar